Irene terbangun dari tidurnya.
Huh, hah, huh, hah.
Napasnya memburuh, tersengal. Menemukan meja rias di seberang ranjang dengan pantulan dirinya di cermin, Irene berhembus panjang sekali.
"Hanya mimpi??" ia bertanya pada diri sendiri. Perasaan legah menggantikan rasa takut di balik dadanya yang kembang-kempis.
Semua yang dilihatnya ternyata hanya mimpi! Betapa senangnya Irene bisa terbangun di ranjang empuk kamarnya, dan bukannya di atas terotoar pinggiran jalan rumahnya.
Irene menyeka keringat di dahi hingga pelipis. Bersyukur dan berterimakasih pada Tuhan karena masih membangunkannya di hari yang lain.
"Eh?" Irene dihampiri kebingungan begitu pandangannya jatuh pada sisi kasur. Di sana seseorang tertidur masih dalam keadaan duduk.
"A-ayah...?" panggilnya seraya membawa tangan untuk menyentuh pelan pundak Paul.
Paul kontan terbangun dan duduk menegakan tubuh. Dua matanya tampak kelelahan, seperti kurang tidur.
"Hey..." Paul memaksakan senyum meski kesadarannya belum genap. Memeriksa suhu tubuh Irene dengan punggung tangan menempeli dahi putrinya itu. "Bagaimana perasaanmu?"
"Ada yang sakit?"
"Sakit?" Irene membeo, tidak mengerti. Paul memandangnya dengan sorot mata berubah khawatir. Setelahnya, Paul mulai bercerita.
"Pingsan? Aku pingsan di depan rumah?" Irene mengulang kata-kata Paul.
Selain mengangguk, Paul menambahkan, "para tetangga sampai keluar rumah dan mengerumunimu."
"Apa yang sebenarnya terjadi, hm?" selembut mungkin Paul menyampaikan pertanyaan itu.
Dengan kaku Irene menggeleng menanggapi. Bukannya tidak ingat, justru pertanyaan Paul membawa kembali ingatan akan kejadian itu.
Yang terjadi semalam itu, nyata? Bukan mimpi?
Sungguh, Irene masih terlalu syok untuk berterus terang. Ia tidak ingin membahasnya sekarang meskipun itu dengan Ayahnya sendiri, dan sekalipun isi kepalanya terus memutar ulang tiap detik dari apa yang disaksikannya tadi malam.
"Yasudah. Jangan dipaksa untuk ingat. Istirahat dulu. Ayah ambilkan makan, ya?" tanpa menunggu jawaban, Paul berdiri dan melangkah pelan menuju pintu. Menutupnya sehalus mungkin, meninggalkan Irene dengan lamunannya.
"Kamu kan anak Pastor Paul. Masa, bisa lihat hantu?"
"Itu akan terdengar aneh, kalau betul-betul terjadi."
Ucapan Dami bagai menariknya menjauh untuk mempercayai apa yang dialaminya. Apa dia bahkan bisa mengalami hal semacam ini? Dengan latar belakang keluarganya yang...
Oh, ayolah. Ini tidak sungguhan, kan? Irene sungguh takut, namun di saat yang sama juga sangat ingin tahu.
Ia berani jamin dihantui rasa penasaran lebih menyiksa daripada dihantui makhluk astral.
KAMU SEDANG MEMBACA
what would IRENE do?
FanfictionMungkin, bertemu Isabae Irene adalah cara Tuhan mengingatkan Kim Taehyung bahwa dunia ini bukanlah tempatnya. Waktunya hampir habis, dan ia harus segera pergi. Beralaskan janji untuk tidak pernah meninggalkan, Irene akan melakukan apapun itu agar Ta...