bagian 11

481 25 2
                                    


Berhenti mencintai seseorang tak semudah itu. Henry selalu menganggap ucapan Narissa adalah omong kosong. Ia berdiri menghadap ke arah bangunan di bagian Utara istana.
Di salah satu jendela yang ia yakin milik kamar Ionanthe dia hanya menatap sejenak.

Wanita itu mungkin perlu menahan kesedihannya, karena mencintai wanita itu bisa saja sebuah kemustahilan. Hatinya terlalu kecil untuk menempatkan lebih dari satu wanita.

Hujan deras ternyata turun malam itu. Karena udara yang menjadi semakin dingin Ionanthe terus bersembunyi di balik kehangatan selimut miliknya. Ia bisa bermimpi indah setelah pergi ke kota beberapa saat yang lalu.

Esoknya, hujan tak benar-benar berhenti. Awan hitam masih ada memayungi seluruh tempat. Ionanthe tetap harus bangun ia punya kegiatan setelah sarapan pagi. Hari ini seperti biasa seharunya ia tak perlu makan bersama dengan sang raja.

Semua terasa biasa saja, walaupun entah mengapa hatinya sedikit terasa gelap. Ia masih berada di depan cermin untuk menyisir rambut sebelum Viona tiba-tiba lari terburu-buru hingga menimbulkan suara langkah kaki yang amat gaduh. Ia sampai menyincing rok bawahnya.

Wajahnya terlihat panik, nafasnya tersengal-sengal.

"Yang mulia Narissa" Bahkan Viona belum sempat memberikan hormat padanya saat mengucapkan hal tersebut.

Ionanthe mengerutkan keningnya kemudian berlari keluar dari kamar untuk menuju ke bagian barat istana, ia hendak pergi ke kediaman dari ratu Narissa. Di saat ia sedang berlari itu ada beberapa orang yang melakukan hal sama menuju ke ruangan kamar Narissa.

Perasaan khawatir dan tidak enak meliputi dirinya. Saat sampai di sana sudah ada banyak orang memenuhi lorong dan bagian dalam kamar. Mereka memasang raut yang begitu sedih, Ionanthe bahkan harus sedikit berusaha untuk masuk ke dalam kamar itu.

Hingga akhirnya ia merasa menyesal harus menyaksikan ini semua. Melihat sosok di sana, dengan mata yang terpejam, tubuh yang sangat pucat dan mungkin sedingin es.

Henry terlihat ada di samping tempat tidur sambil memegangi tangan wanita itu. Menundukkan wajahnya dengan penuh keputusasaan.
Hatinya seakan di hantam benda keras, layaknya tersambar petir di siang bolong ia hanya bisa terpaku melihat ini semua. Sesuatu yang bahkan ia tak percaya walaupun kebenarannya sudah tepat di depan mata.

Ionanthe menunduk, saat itu ia kembali ke kamarnya dengan keadaan kaki yang lemas, segera mengganti pakaiannya dengan seluruh warna hitam untuk menunjukkan sebuah kedukaan yang amat dalam. Sama seperti warna awan mendung di atas. Air matanya terasa hangat mengalir dipipinya, ini terasa sakit seperti terakhir kali ia kehilangan kakaknya.

Ia baru saja merasa bahagia bisa menemukan sosok seperti yang pernah ia punya sebelum sosok itu pergi lebih cepat dari dugaannya.
Ia mendengar bahwa raja sempat menunda pemakaman berharap jika ini semua tidak benar-benar terjadi.
Bahkan pria kuat sepertinya saja bisa begitu terpukul.

Ionanthe juga sama, ia berharap ini semua hanyalah mimpi buruk, dimana ia berharap segera membuka mata dan mendapati dirinya di atas kasur dengan cahaya pagi yang cerah. Tapi ia perlu sadar, semua bukan sebuah fatamorgana.

Diiringi langkah yang berat mereka membawa peti mati berisi jasad Narissa menuju pemakaman milik kerajaan. Di basahi gerimis mereka orang-orang yang mengiringi kepergian Narissa tetap berjalan seakan tak ada air yang jatuh dari langit. Membuat bagian atas baju mereka semua basah. Mereka menuju ke sebuah tempat peristirahatan terakhir khusus raja dan ratu, raja dan ratu sebelumnya juga dikubur di sana.
Ionanthe tak berani mendekat, ia berada jauh dari sana, dari kerumunan orang yang terlihat lebih merasa kehilangan daripada dirinya. Orang asing yang baru saja datang ke istana ini.
Dari sini ia sadar, begitu banyak orang yang mencintai ratu Narissa.

Hari yang melelahkan, setelah upacara itu selesai Ionanthe kembali ke kamarnya. Duduk diatas kursi masih dengan baju yang sama. Bahkan ada air yang menetes dari rambutnya, tapi Ionanthe tetap diam melamun.

Matanya melirik ke arah kotak berisi racikan teh herbal yang belum sempat ia berikan pada ratu Narissa. Andai ia memberikan benda itu lebih cepat, andai saat itu ia tahu, malam tanpa bulan adalah pertemuan terakhir mereka. Jikalau ia tahu itu, Ionanthe akan berani lancang memeluk Narissa walau hanya sekali.
Ia seperti dihantui perasaan menyesal dan kesedihan yang tak bisa ia obati dengan ucapan 'semua akan baik-baik saja'

Dua hari keadaan istana yang sedang berkabung masih terasa begitu suram.
Tak ada keceriaan seperti yang pernah ia rasakan, matahari di langit pun tampak tidak bercahaya karena ada banyak awan putih menutupi di sana.

Ia melihat raja berjalan bersama Peter saat Ionanthe sekedar berjalan-jalan. Ia menatap penuh iba, pria itu kehilangan dia wanita dalam waktu yang berdekatan, tapi saat kehilangan Narissa pria itu terlihat seperti kehilangan hidupnya juga.

Pagi hari ini, Viona datang lebih awal dengan berkata sesuatu yang cukup mengejutkan.

"Apakah aku harus datang untuk menemani pria itu makan?" Tanya Ionanthe, setelah lama selalu makan sendirian ia merasa sedikit kikuk juga harus sarapan hanya berdua saja dengan raja.

"Tidak ada lagi yang bisa menempati posisi itu selain Anda Madame"

Mendengar ucapan itu Ionanthe mengerti, di saat ini ia memiliki kegiatan lain. Dan besar kemungkinan ia akan lebih sering bertemu dengan raja.

Saat masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursinya Raja terlihat tidak terlalu menggubris dirinya, sebuah hal yang wajar. Pria ini terlihat pucat, rambutnya juga terlihat berantakan.

Ionanthe menatap ke arah Henry disaat para pelayan sedang sibuk menyiapkan makanan di atas meja.

Ia merasa kasihan pada pria ini, tiba-tiba saja bisa merasa kasihan pada orang yang bersikap tak baik padanya. Ia melihat Henry sekarang dengan kepribadian yang berbeda, sosok di depannya terlihat lemah dan tak bertenaga.

Tak ada percakapan di antara mereka. Hanya Ionanthe yang sibuk menikmati makanan disaat Henry hanya terus menyentuh gelas berisi anggur.

Anggur dipagi hari benar-benar berlebihan, pria ini bisa jatuh sakit bila terus melakukan hal buruk semacam itu.
Tapi mau bicara pun Ionanthe mungkin akan di anggap berpura-pura perhatian dan akhirnya malah di anggap menganggu.
Ia hanya diam sampai akhir sarapan.

Ionanthe memberi hormat di saat Henry terlihat tidak akan beranjak dari kursi. Ia bahkan tak melirik Ionanthe sama sekali. Tapi ia tak perlu mengambil hati. Hubungan mereka memang seperti ini bukan.

.

.

.

Hai reader maaf ya up nya agak slow dikit 🐱 but soon it's Will be More often

Wanita Penebus ( Priarie Verte) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang