02

809 185 15
                                    

Mbak Sisi di rumahnya punya sepeda. Waktu kami datang sepedanya bannya kempes. Karena aku nggak tahan kalau harus naik bus setiap pergi ke tempat kursus, aku minta Mbak Sisi buat mbenerin sepedanya. Meskipun Mbak Sisi itu galak, tapi dia bisa dibilang baik. Di minggu kedua aku udah bisa naik sepeda.

Jarak rumah Mbak Sisi ke The Bliss Premiere memang jauh. Tapi masih sanggup aku jangkau dengan sepeda. Lagi pula nggak setiap hari kok. Jadwal kursus itu cuma tiga kali seminggu, jadi nggak masalah.

Hari ini kelas ke empat kami. Aku mendahului Mbak Sisi, karena Mbak Sisi naik bus jadi pasti lebih cepat dari pada aku. Benar aja, waktu aku datang Mbak Sisi nampak tiba lebih dahulu. Aku cepat-cepat memarkirkan sepeda untuk menyusul Mbak Sisi. Tapi kakiku berhenti untuk memburu langkah.

Aku melihat Mbak Sisi di sapa dua orang peserta kursus di kelasku. Mereka bahkan mengajak Mbak Sisi bicara dengan normal. Respon Mbak Sisi memang seperti biasa, tapi yang membuatku nggak jadi menyusulnya adalah, dua orang yang lain nggak menatap Mbak Sisi seperti mereka menatapku.

Kenapa ya?

Apa karena aku Siti? Dan bukan Sisi?

Mereka bahkan tertawa tapi bukan tawa mengejek seperti yang mereka berikan kepadaku.

"Mbak Siti kan, lo?"

Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Theo yang baru keluar dari mobilnya. Aku mengangguk nggak bersemangat.

"Kenapa lo?"

"Ndak apa-apa."

"Jawaban cewek banget," sambutnya.

"Cewek Jakarta jawabnya begitu juga?" tanyaku kemudian yang membuatnya bingung.

Theo mengikutiku berjalan ke dalam gedung. Sepertinya hari ini dia yang akan mengajar, karena dia bergantian dengan Habibi kan?

"Pencet yang ini kan?" Aku menunjuk ke arah tombol lift. Biasanya yang menekan kan itu Mbak Sisi, dan aku jarang naik lift. Pernah dua kali waktu di mall Solo, dan RS di Solo, itu pun aku takut salah. Apalagi kalau sudah ada huruf-hurufnya seperti UG, LG.

Theo mengangguk sambil menamati wajahku. "Ngopo sih ndelok-ndelok?" cibirku. "Seneng po?"

"Kamu ngomong apa? Aku nggak paham. Nggak semua orang bisa bahasa Jawa."

"Yo podo, ra kabeh uwong mudeng inggres," jawabku.

Pintu lift terbuka. Aku dan Theo keluar bersamaan.

"Tapi kan bahasa Inggris diajarin di sekolah. Basic aja pasti ngerti kan?"

"Lah itu, kowe iso njawab. Berarti awakmu mudeng opo sing tak omongke to?"

"Apa sih?" protesnya nggak paham sepertinya.

"Kamu itu kalau ngomong cepet banget. Misal mbok campur enggres, aku jadi ndak paham. Mudeng?"

"Masih kendala bahasa lagi ini?" Suara Habibi memecah fokusku dan Theo.

"Mas Habibi!"

"Hari ini kalian belajar sama Theo. Ketemu saya besok ya," ujar Habibi.

"Eh, Mas. Mas," panggilku mendekat.

Habibi menungguku bicara disertai senyum di wajahnya.

"Kalau bicara nggak usah pakek saya-saya, Mas. Aku jadi keinget seseorang," terangku yang membuat Habibi tertawa kecil.

Sumeh pol!

(*sumeh: identik dengan orang yang ramah dan mudah tersenyum)

"Kebiasaan kalau ngajar, Sit. Oke. Di luar kelas kita ngobrol informal aja ya."

Siti! Oh? Shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang