04

928 211 40
                                    

Aku nggak bisa bergaul dengan baik selama dua minggu ini di dalam kelas. Di luar kelas, waktu sendirian aku bisa jalan-jalan ke luar gang rumah Mbak Sisi dan mengobrol dengan ibu-ibu di sana, atau tanya-tanya iseng ke beberapa pedagang keliling yang ternyata rata-rata adalah pendatang dari Jawa. Dengan mereka aku merasa lebih nyambung.

Sementara aku merasa nggak diterima oleh temen-temen sekelasku. Bahkan sama temennya Mbak Sisi. Mungkin temennya Mbak Sisi pada tahu aku pernah jahat sama dia, jadi mereka nggak suka dengan kedatanganku.

Yo wis lah. Arep piye meneh? (Ya udah lah, mau gimana lagi?)

Hari ini di kelas, kami diajar sama Theo. Masih sama seperti kemarin, kadang aku ndak mudeng karena ngomongnya terkadang masih campur bahasa Inggiris, tapi kalau dia sadar, dia mau mengulangi kalimatnya. Yen eling...

Kelas selesai jam satu siang. Theo langsung dikerumuni anak-anak kelasku, kecuali aku, Mbak Sisi dan satu, dua orang langsung sibuk membersihkan meja. Sampai detik ini, aku masih nggak mudeng kenapa kalau selesai kelas Theo itu langsung dikerubungi, sementara kalau dengan Habibi kelas nggak pernah seperti itu.

Aku mengekor Mbak Sisi yang mengajakku langsung turun. Dia setelah ini mau pergi dengan temen-temennya. Kemarin aku sempat diajak, tapi aku tolak karena temennya nggak suka dengan aku, jadi lah aku nggak mau ganggu mereka.

Setelah berpamitan aku melihat Mbak Sisi pergi menjauh, melambaikan tangannya, dan masuk ke dalam mobil. Aku kembali sendiri. Mungkin setelah ini aku mau ngobrol sama ibu-ibu dekat gang rumah, atau beli gado-gado sambil ngajakin penjualnya cerita.

Meskipun ditinggal Mbak Sisi, aku nggak boleh kelihatan kesepian, karena aku nggak seneng kesepian. Tapi faktanya, kalau nggak ada Mbak Sisi, aku kesepian. Makanya aku mau cari temen, tapi temen-temen kelasku pada nggak suka sama aku.

***
"Siti!"

"Ya Rabbi, Siti njaluk rabi!"

Iki bocah, nak aku mati tak gentayangin disik dewe! (Anak ini kalau aku mati aku gentayangin paling duluan)

"Eh, sorry..." sesal Theo dari mobilnya yang tiba-tiba aja di sampingku dan dia teriak bikin aku kaget.

Aku mencereng. Tapi kemudian aku terpukau sama mobilnya. Mobilnya atapnya bisa dibuka. Aku biasa lihat di TV atau internet, sekarang aku bisa lihat langsung. Keren ya.

"Wah... itu mobilmu terpalnya bisa dibuka tutup?" tanyaku sambil menghentikan kayuhan sepedaku, diikuti mobilnya yang ikut berhenti.

Theo tertawa keras sampai orang-orang ngelihatin dia. "Terpal kata lo? Lo pikir mobil gue tenda nikahan?" Dia masih tertawa.

Puas tertawa kemudian dia bertanya. "Rumah lo mana deh? Jalannya ramai begini nggak takut lo?"

"Kat wingi takon wae. Meh mampir po? (Dari kemarin nanya aja. Mau mampir apa?)"

"Sit. Bahasa Indonesia, Sit. Aku ra iso bahasa Jawa." Theo menirukan logatku.

"Aku tinggal di rumah Mbak Sisi.  Naik sepeda satu jam. Kamu nanyain terus mau mampir apa ngapain?"

"Jauh dong satu jam? Kayaknya temen lo naik umum. Kenapa nggak ikut?"

"Kakean takon. (Kebanyakan tanya)" Aku kembali mengayuh sepedaku. Mobil Theo masih mengiringiku. Tak jarno wae (Tak biarkan aja).

"Aku mau belok. Rumah Mbak Sisi masuk gang itu," terangku ke Theo dan ketika aku berbelok di belakang mobilnya ikut berbelok ke arah gang aku lewati.

"Oh. Di sini..." ujar Theo kemudian.

Siti! Oh? Shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang