05

1.2K 243 29
                                    

"Eh, Mbak. Aku to mau tanya. Sebenere aku nggak penasaran juga sih."

"Apaan?"

"Kenapa anak-anak di kelas nggak suka lihat aku? Kenapa pas pertama lihat aku mereka ketawa? Terus suka bisik-bisik."

Mbak Sisi yang lagi menguleni adonan menoleh kelihatan berpikir, sambil berhenti melakukan aktivitasnya.

"Soalnya lo itu nyentrik banget. Sebetulnya bukan cuma orang sekelas aja, yang pas pertama ketemu lo langsung menatap aneh. Gue pas ketemu lo juga lihat lo aneh. Tapi sekarang biasa aja sih."

"Nyentrik piye?"

Mbak Sisi mendengus pelan. "Ora umum, Sit. Harus nih aku jelasin? Terus kenapa tiba-tiba nanya? Biasanya lo PD-PD aja? Mulai goyah kah? Mau dandan yang normal-normal aja?" tanyanya bertubi-tubi.

"Aku ngerasa biasa aja padahal. Kenapa harus goyah? Lha wong, aku ngerasanya normal!" seruku.

"Itu lah mengapa, aku nggak mau berkomentar apa-apa. Aku nggak mau jadi juri, karena aku tahu kamu itu bakalan ngeyel!"

Ngeyel gimana to?

"Kemarin itu kan Theo ngintil ke sini. Terus habis itu dia ngomong style-style gitu. Aku nggak mudeng soalne Enggres."

(*ngintil: ngikutin)

Mbak Sisi mengeryitkan dahinya. "Jangan-jangan dia ngatain lo?!" Mbak Sisi curiga. "Jauh-jauh lo dari Theo. Isengnya nggak lucu. Gue nggak suka. Cukup dia jadi patissier aja nggak usah macam-macam sama kita."

Aku mengangguk. "Aku juga ndak suka sama dia sih, Mbak. Cara ngomonge njengkelke. Terus kemaki, sombong. Mending Mas Habibi."

Mbak Sisi kembali mendengus. "Sama aja, Sit. Nggak usah deket-deket juga sama Habibi. Kita fokus kursus di sini," tegur Mbak Sisi yang bikin aku sedikit kesel. Cuci mata sedikit, kenalan-kenalan dikit sama cowo ganteng nggak boleh apa? Kan aku butuh hiburan juga di sini. Ya to?

Aku ninggalin Mbak Sisi di dapur. Dia lagi praktek bikin adonan. Aku pergi ke gang depan rumah. Karena ini masih pagi, ibu-ibu masih banyak yang duduk-duduk di salah satu rumah setelah belanja di tukang sayur keliling. Aku bergabung di sana.

Kumpul-kumpul seperti ini bikin aku inget suasana desa. Apalagi ibu-ibu di sini rata-rata pakai bahasa Jawa. Aku ngerasa nyaman, karena merasa dekat dengan mereka. Meskipun mereka suka bahas soal anak, dan suami, tapi aku tetep nyambung. Bisa aku ikut nimbrung nambah-nambahin bumbu.

Ibu-ibu itu mulai membubarkan diri saat matahari mulai terik. Dan aku kembali ke rumah sekitar jam satu siang. Baru juga masuk rumah, hidungku di sambut bau gosong. Aku lari ke dapur, dan di dapur dengan gobloknya Mbak Sisi lagi nyiramin api besar pakai air.

"MBAK! GOBLOK MBOK KAPAKNE?!" Aku teriak panik. Tapi Mbak Sisi masih kelihatan tenang.

Aduh! Bocah iki! Padahal apinya lumayan besar keluar dari oven. Nggak takut meledak apa?!

Aku langsung lari ke dalam kamar mandi ngambil handuk. Handuknya aku ceburin ke bak mandi dulu supaya basah. Setelahnya aku lari tergopoh-gopoh karena handuk-handuk basah itu.

"DIEMO OJO MBOK GRUJUKI!" omelku keras. Kemudian aku melempar handuk basah itu ke dalam oven. Ke atas oven. Masih kurang, aku berlari ke dalam kamar, cari handuk lagi, aku basahi lagi, aku lempar lagi ke arah api.

Untung nggak kebakaran! Aku trauma, takut kebakaran kayak rumahku di kampung. Meskipun api udah padam jantungku masih belum tenang. Kebakaran yang menyebabkan aku kehilangan pekerjaanku, dan sempat bikin aku nggak semangat hidup, kini rasanya seperti diungkit lagi.

Siti! Oh? Shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang