saat itu malam pucat

122 24 1
                                    


Ini malam Minggu tersialan sepanjang masa.

Setidaknya begitu menurut Kana selepas kata keramat ‘putus’ terucap enteng hanya melalui sambungan telepon lima menit lalu.

“Dua minggu dia ngehindar, nggak ada kabar, terusan gue kejar minta penjelasan. Gue yang sabar nunggu, apa? Kenapa? Mestinya didiskusikan, alasannya kenapa? Apa yang salah biar diperbaiki! Dan jawaban akhir yang gue dapet begini?!!”

Kotak jus buavita rasa jambu erat-erat Kana remas, isinya tumpah berceceran, lalu terbanting sembarangan ke trotoar.

Dia benamkan kepala dalam rapatan lutut. Meringkuk. Mulanya pelan, lama-lama getaran bahunya bertempo cepat naik-turun. Gadis itu menangis. Terisak kecil.

Di genggaman, layar handphone nya menyala terang. Muncul rentetan foto candid dua sejoli.

Asik bermesraan di kafe layaknya pasangan romantis. Tadi, tanpa sadar sejak awal seseorang sedang mengawasi bengis. Menahan maki, hampir nekat melempar sepatu lalu menggebrak tamparan maut.

“Bosen, hah?!” deliknya remeh, bar-bar menekan tombol off. Muak setengah mati.

Tentu saja Kana sangatlah peduli. Bahkan tepat di hari mereka tak bertukar kabar sama sekali, Kana sudah sadar memang ada yang tidak beres. Laki-laki itu menjauhinya.

Tak mungkin ia sekedar diam mengandalkan waktu yang berbicara. Kana bergerak sigap. Selama ini, menggali segala informasi soal pacarnya. Membuntuti ke sana kemari meminta kejelasan, menelponnya, mengirimkan pesan yang berkelanjutan disangkal dengan alasan basi,

‘Aku sibuk.’

Berhari-hari seperti itu selalu berujung tak mendapat jawaban apapun. Perjuangannya sia-sia.

Malam ini semuanya terbongkar. Darah Kana mendidih panas dengan hatinya teremas sakit.

Bukti tersimpan, Kana berniat menghajarnya secara personal sampai laki-laki itu mengaku sendiri dari mulut sok manisnya langsung.

Miris. “Aku mau kita putus.” Semestinya, Kana lah yang mengatakan itu. Lantang bareng tonjokan.

Bukan dia yang seenaknya, sedikitpun tanpa penjelasan maupun penyesalan. Seolah-olah kelakuan bejatnya di belakang tak pernah terjadi dan Kana seorang diri yang tampak paling menyedihkan di sini.

Lamanya hubungan dijalin dua tahun. Yang dijaga baik-baik, dibangun dengan saling percaya, sekalipun kenangan-kenangan manis bertumpuk pun tak bisa mencegah semua terjadi. Sudah tak berarti apa-apa, itu sudah selesai sekarang.

Kana menarik ingus. “DEWA BRENGSEEEKKK!!”

“GUE SUMPAHIN LO BISULAN SEWINDU! SEPANTAT-PANTAT ADA BISUL ... bikin pertenakan bisul ...”

Dia kembali jatuh terduduk, leher menyandar pada sandaran kursi taman. Sensasi dingin menyengat kulitnya yang memanas.

Kana tetap mendengak, tahan-tahan air matanya tak terbuang percuma lagi untuk pria yang sudah tak berharga.

Pandangan Kana yang kabur melambat turun, terfokus pada satu titik. Lama-kelamaan tampak jelas.

Di sana, bawah tiang lampu. Makhluk berbulu bulat dan mungil mengamatinya tertegun, entah sejak kapan. Bulunya oranye kecokelatan terang tersorot lampu.

“Haiii!” Refleks, tangan Kana melambai naik, girang sekali. Sebuah kontras dibanding dirinya beberapa saat lalu.

Kucing itu mengerjap dua kali selagi ekor cacing besar alaskanya mengayun-ngayun mini. Gemas.

Kemudian, dengan insting, walau terlihat ragu-ragu menjaga jarak, ia mulai bergerak satu arah ke tempat Kana mengadu pahitnya cinta.

Bandul lonceng menggantung di lehernya bergemerincing selaras jalannya yang geol-geol semakin mendekat.

Alih-alih menuju Kana yang kepalang gembira tangannya gatal mau melahap, justru si oyen berhenti di genangan kemasan jus jambu yang berceceran.

Mulanya diendus, dipastikan aman, baru ia menjilatinya amat tenang. Haus mungkin, sedangkan Kana panik terhadap kebersihan.

“Jangan, kotor itu!”

Alarm peringatan berdering, si kucing kabur hampir seperti kilat. Di tengah pelariannya, makhluk gembul itu sempat berhenti hanya untuk menengok ke belakang.

Memastikan apakah manusia bermata sembab merah melotot benar-benar mengejarnya atau tidak.

Kana membuntuti, tapi tidak memburu tak ingin menakuti. Sudah larut, ia pula harus pulang sebelum menimbulkan kekhawatiran Mama.

Lalu, sejauh sampai keluar taman komplek, jejak kucing itu hilang.

Rasa suka Kana pada kucing setara ia menyukai bunga-bunga dalam pot-pot berjajar. Tapi, tak mempertimbangkan memelihara satu saja di saat sang mama mempunyai alergi pada bulu-bulunya.

Hanya melihat tanpa memiliki cukup sudah membuat senang. Semacam penghiburan kecil, hati Kana sedikit membaik.

Namun, tak bertahan lama senyum tipisnya terbit, itu lenyap dengan perasaan pahit yang tertinggal ketika mengakui sebuah fakta.

Dia sendiri.

Berdiri sendirian di bawah sorotan lampu jalanan temaram.

Setitik air akan pecah di ujung pelupuk mata, tepat tatapan Kana bertemu dengan tatapan lainnya.

Seseorang berada di sisi lain jalan. Laki-laki dengan wajah dihinggap pendar hangat bohlam neon. Dalam gendongannya, kucing berbandul lonceng tertidur meringkuk nyaman.

Dua pandangan menatap tanpa arti khusus. Berlangsung lama dan berlarut dalam.

Saat itu, malam pucat oleh sinar bulan memudar tak berbintang.

[]

keepyousafe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang