Part 1

267 11 1
                                    

Jeon Kookie selalu percaya bila hidup mulai mengecewakan, lebih baik melaluinya sambil makan roti  dan minum kopi. Itulah sebabnya kartu resensi di hadapan Kookie dan kafein bekerja efektif dalam tubuhnya.

Kookie mengamati rak display tempat roti keju Cherry seolah berkali-kali membisikkan namanya dengan lembut, kemudian melirik sekilas ke penyangga lutut dan tongkatnya.

Kookie masih dalam masa pemulihan setelah operasi yang dilaluinya baru-baru ini, berarti tidak banyak aktivitas fisik yang bisa dilakukannya.  Kalau tidak ingin mengambil resiko membuat celana jeansnya semakin ketat, Kookie harus melewatkan roti kedua itu.

"Lebih baik tergoda oleh pastry daripada pria," Kookie mengingatkan diri sendiri.

Makanan yang dipanggang mana bisa membuat wanita jadi gemuk, tetapi pria bisa mengoyak-ngoyak hati wanita lalu membiarkan si wanita terluka parah. Walaupun obat untuk kegemukan, diet dan olahraga tidaklah mengenalkan, Kookie masih bisa menghadapinya. Sedangkan obat untuk patah hati sangat tidak pasti. Jarak, pengalihan perhatian, dan percintaan yang hebat. Tak satupun dari ketiga hal itu dimiliki Kookie saat ini.

Pintu depan toko roti membuka, cara membuat bel di atas pintu berdenting.
Kookie nyaris tidak mendongak saat seorang anak SMA berjalan mendekati rak display dan memesan 5 lusin donat. Kookie menjilati jemari, mengelap dengan tisu, lalu mulai membubuhkan paraf pada kartu presensi agar bisa ia serahkan kepada akuntan lain sore nanti.

Jiah, yang bekerja di belakang rak display meletakkan tiga kotak besar donat di atas konter , lalu mulai memasukkan pesanan  itu ke mesin kasir. Tepat pada saat itu telepon berbunyi, Jiah berbalik untuk menjawab telepon.

Kookie tidak tahu apa yang membuat dirinya mendongak pada saat itu. Indra keenam? Keberuntungan? Bagaimana kegelisahan anak SMA itu menarik perhatiannya?

Kookie melihat anak itu memasukkan ponsel kembali ke saku depan celana pendeknya, meraih ketiga kotak donat itu, lalu berjalan menuju pintu, tanpa membayar.

Kookie bisa menerima fakta bahwa dirinya memang dilahirkan sebagai pemarah. Ia nyaris tak pernah melihat sisi positif situasi apapun dan dikenal sering bereaksi berlebihan. Namun tidak ada, benar-benar tak ada yang membuatnya lebih kesal daripada dibodohi orang.  Akhir-akhir ini ia sering diperlakukan seperti itu, dan ia takkan membiarkan anak tersebut memperpanjang daftarnya.

Tanpa benar-benar merencanakan tindakannya, Kookie menjulurkan tongkat, menyandung anak itu, selalu menyarankan tongkat itu ke tengah-tengah punggung si anak SMA.

"Tidak boleh," ucap Kookie
"jiah, telepon polisi."

Kookie setengah berharap anak itu akan melompat dan melarikan diri. Kookie takkan bisa menghentikannya, tetapi anak itu justru bergeming. Sepuluh Menit kemudian pintu terbuka kembali dan Kookie menengadah. Namun alih-alih polisi terbaik xx yang masuk, Kookie malah melihat pria yang sangat cocok menjadi model pakaian dalam atau pahlawan penuh aksi.

Petunjuk pria itu tinggi, berkulit kecoklatan, dan tampaknya rajin berolahraga.
Kookie bisa menebak perihal olahraga itu karena pria itu mengenakan celana pendek merah dan kaos abu-abu Pasifik High school yang menggantung tepat di atas ban pinggangnya. Otot yang selama ini keberadaannya tidak diketahui Kookie tampak menonjol saat pria itu bergerak.

Kacamata hitam yang memantulkan bayangan menutupi mata pria itu.
Dia menunduk melihat si pemuda yang tak bergerak karena ditahan tongkat Kookie, dengan donat donat bertebaran di lantai, kemudian pria itu melepaskan kacamatanya dan tersenyum pada Kookie.

Kookie pernah melihat senyuman itu.

Oh, bukan dari pria itu.
Tetapi itu senyuman yang digunakan Pierce Boston saat berperan sebagai James Bond untuk mendapatkan informasi dari sekretaris yang nyaris kehabisan napas karena terpesona. Senyuman yang digunakan mantan suami Kookie, lebih dari sekali, agar bisa terbebas dari masalah. Kookie sudah kebal terhadap senyuman semacam itu.

Sentuhan TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang