Keluarga [21]

404 58 13
                                    

"Hali?! "

Sebuah teriakan menghalau suasana sepi yang telah berlangsung selama beberapa jam. Sang pelaku terbelalak kaget, manik indahnya mengecil dengan mata yang bengkak karena menangis. Tak butuh waktu lama, buliran air mata kembali menetes begitu saja.

Dengan cepat, Sarah memeluk erat putra semata wayang nya. Memuaskan setiap kekhawatiran yang telah lama menyinggahi hati. Wanita itu kembali menangis, namun kali ini air matanya menetes bersama pelukan sang anak.

"Hali tidak apa-apa kan? Apa ada yang terluka? Bagian mana yang masih sakit? " Runtutan pertanyaan terujar begitu saja, tak terbayangkan seberapa besar kecemasan yang harus ditanggung seorang ibu saat ia hampir kehilangan sang anak tercinta.

Halilintar mengulas senyum kecil. Perlahan ia menghapus jejak air mata sang ibu. Rasa senang dan lega bergejolak dalam hati anak itu. Ia bersyukur masih dapat hidup atau dia akan benar-benar mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

'Menangis sampai mata menjadi bengkak hanya untuk putra palsu mu, bukankah kamu terlalu baik, ibu? '

Halilintar tertegun, ia yang selama ini hanya berfikir mengenai penyesalan dimasa lalu. Tidak pernah membayangkan akan benar-benar menjadi anak dari sepasang bangsawan di dunia sihir. Bagi nya, mereka hanyalah sekelompok orang yang tinggal bersama dengan kedok sebuah keluarga.

Jika ditanya, ia pasti dapat menyebutkan bahwa mereka adalah keluarga, wanita itu adalah ibunda, dan pria itu adalah ayahanda. Namun, hati ini tak dapat menerima keluarga lain kecuali ke enam adiknya. Hidup didunia yang kejam telah menorehkan luka yang mulai bersarang di hati, dipupuk terus menerus oleh penghianatan, kekecewaan, dan dendam. Rasa percaya telah hilang, hatinya telah lama menjadi tumpul.

Tumbuh besar dengan mengamati segala kondisi, hidup dalam kerumunan manusia timbal balik dengan segala kepura-puraan nya. Ia telah terbiasa dengan keberadaan topeng tersenyum ramah yang menutup kelicikan orang-orang gila itu. Ia sudah terbiasa, karena itulah dunianya, tempat kotor itulah tempat ia tinggal dan menghabiskan sisa usianya, tempat ia bekerja sebagai salah satu dari orang-orang gila lainnya.

Bagi orang seperti nya tidak ada yang disebut sebagai benar dan salah. Tapi kalau boleh ditanya, tiada satu hari pun baginya yang tidak merasa menyesal telah masuk ke dunia itu. Ia menyesal menjadi mafia. Itulah penyesalan terbesar yang pernah ia lakukan dalam hidup.

'Meski hati ini belum bisa menerima, tapi aku tahu perasaan ibu dan ayah untuk ku sangatlah tulus. ' Hidup ditempat seperti itu membuat perasaannya menjadi tumpul. Tapi ia tahu, perlahan hatinya sudah mulai terbuka kembali, meski membutuhkan waktu yang panjang.

"Halilintar? Kenapa melamun? Bagian mana yang masih sakit? " raut khawatir begitu kentara, terlukis jelas di wajah cantik ibunda. Tangannya menyentuh wajah Halilintar, ia meneliti bagian tubuh sang anak, memastikan apakah ada luka yag tersisa.

"Ibunda, Hali tidak apa-apa. Tidak sakit lagi, " ucap Halilintar lembut. Terlihat jelas kesehatan ibunda menurun akibat terlalu banyak berfikir. Halilintar tidak ingin melukai tubuh ibundanya yang rapuh.

Tak terasa mentari kian menyentuh ufuk barat. Siang kan berganti malam, langit senja mengakhiri pertandingan. Saat malam kian menggelap, angin dingin kembali menyapa, semakin dingin mengingat musim gugur berada dipenghujung.

Panasnya perapian menjadi teman malam itu. Bunga api bermekaran, suara dentingan kayu termakan panasnya api memenuhi ruangan yang sunyi. Di ruangan yang gelap, beberapa lilin menyala terang dengan cahaya kecilnya.

Halilintar duduk termenung didepan jendela, menatap langit malam bersama ribuan bintang. Garis galaxy nampak kian jelas kala bulan makin meninggi. Ia menghela nafas, udara panas keluar dari belah bibirnya sambil memeluk erat tubuh berbalutkan jubah hitam itu.

Reinkarnasi Boss Mafia [Halilintar] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang