Kedua

1.6K 140 0
                                    

안녕!

Happy Reading!

***

Tujuh bersaudara itu baru saja menyelesaikan solat magrib dan isya berjamaah di masjid. Mereka berjalan beriringan, di depan ada Aji dan Caden yang menertawakan Jendra karena kena slepet sarung Haikal, dibelakang ada Rendra dan Marvin yang lega tidak menjadi sasaran, sesekali terkekeh melihat kelakuan mereka. Kini Jendral ditahan oleh dua bocah bungsu itu, seolah mempersilahkan kepada Haikal. Detik selanjutnya tiga orang yang melakukan aksi gila terbahak, Jendral pasrah saja ketika tungkai bawahnya kena slepet Haikal sembari menggerutu. Sedangkan Jazeel memperhatikan mereka tak habis pikir.

"Jomplang banget mereka, Jazeel kalem lempeng, tiga bocah pada gila, satunya pasrah wae," celetuk Rendra.

Marvin terkekeh, "kalo gak gini bakal aneh jatohnya."

Rendra bergumam mengiyakan. Bagaimanapun ia selalu bahagia melihat mereka berisik seperti ini, ketimbang diem-dieman.

Udara malam dan gemerlap lampu dari teras-teras menemani mereka menuju rumah. Tidak ada kata sepi selama perjalanan. Disepanjang jalan itu ramai dipenuhi suara-suara ketujuh bujang, membuat waktu terasa lebih lama. Bahkan hal sepele pun mereka tertawakan.

"Tau gak sih? Diem-diem si Aji punya gebetan," ibarat pepatah; tak ada asap jika tak ada api. Celetukan Caden membuat kelima abangnya menatap Aji, seolah menuntut klarifikasi. Sedangkan yang ditatap gelagapan.

"Apasih? Siapa coba?" Tanyanya, dalam hati menggerutu kesal.

"Itu loh, yang rambutnya suka di kuncir kuda, sama pake hoodie cream," jelas Caden.

"Dinda?" Caden mengangguk, "dia temen kelas, napa tiba-tiba jadi gebetan?"

"Kemana-mana selalu bareng kalian tuh, minggu kemarin juga lo nganterin dia pulang, jangan kira gue kagak liat, ya." Caden menarik ujung bibirnya.

Haikal berdecak, "wahh, si bungsu udah besar, bund," celetuknya dengan wajah tengil khasnya itu.

Tanpa disangka empat saudaranya yang lain bertepuk tangan seraya menggeleng, "Aji udah gede."

"Apa sih, dia temen kelas gue, ya," elaknya, tak urung wajahnya memerah.

Haikal merangkulnya, lalu berkata, "gapapa, normal kok kalo suka. Asal gak ganggu belajar sama kehidupan." Abang-abangnya mengangguk menyetujui.

Aji nyengir, malu. Malam itu, mereka masuk ke rumah setelah mengetahui bahwa si bungsu sudah besar. Membuat mereka menyadarkan diri, bahwa kehidupan terus berjalan.

Benar apa kata Haikal, suka dengan seseorang itu normal, asal tidak merusak kehidupan, alias menyukai sampai jalur toxic. Sukailah dia dengan cara sehat.

To be continued...

Haikala dan Saudaranya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang