Keempatbelas

519 136 8
                                    

안열!

Happy reading!!!

***

Ketika pintu kamar itu terbuka, hal pertama yang dilihat Nadhir dan Rendra adalah tubuh Haikal yang tergeletak lemas dibawah kasur.

"Kal?" Panggil Rendra, ia rengkuh tubuh itu.

"Maaf."

"Gak perlu minta maaf."

"Mas," panggil Haikal. Rendra bergumam, "kangen ayah sama bunda. Mereka lagi ngapain, ya, di sana? Kalo aja waktu itu aku gak minta kado sama ayah bunda, pasti mereka masih di sini, bareng kita."

Nadhir dapat melihat betapa kosongnya tatapan itu. Ia tak menyangka jika Haikal masih seperti ini. Dulu, beberapa bulan ayah dan bunda meninggal Haikal selalu seperti ini, dan hanya ia yang tahu. Seiring berjalannya waktu, Haikal dapat mengendalikan pikirannya sendiri. Nadhir pikir Haikal sudah sembuh, namun ternyata Haikal sendiri yang pintar menyembunyikannya.

"Haikal, liat mas," Rendra tersenyum teduh pada Haikal, mencoba menyalurkan ketenangan melalui tatapan dan senyumannya. "Bunda sama ayah pergi udah jalan takdir Allah, bukan maksud mas seneng karena ayah bunda pergi, tapi kalo gak kayak gini, kita gak akan kenal satu sama lain, Haikal juga pasti pernah denger dari kak Marvin atau Jendral. Kalo tiba-tiba pikiranmu ruwet, yang bikin mikir nggak-nggak, kamu inget kata-kata kita bertiga. Dibeberapa kesempatan, mas juga berterimakasih sama Allah." Ketiganya duduk berjajar menghadap keluar jendela, dengan Rendra ditengah.

"Mas berterimakasih, karena dengan ayah dan bunda pergi, itu artinya Mereka percaya sama mas, kak Marvin, dan Jendral. Mereka percaya kalo kita bisa berjalan sendiri, walau kesandung terus tertatih." Rendra menghela napas sesaat, "Mas gak bisa bayangin kalo ayah sama bunda masih sama kita, apa kita sekarang bisa duduk bertiga gini? Tidur bareng di ruang keluarga? Gak ada yang tau." Rendra menoleh pada adik kembar pertamanya. "Kal, gak papa, gak usah buru-buru, pelan-pelan aja."

"Aku juga dibeberapa kesempatan bakal mikir gitu," celetuk Jazeel, "tapi lama-kelamaan bikin sakit."

"Sakit itu wajar, berarti kamu berperasaan," kata Rendra.

Haikal menunduk, bayangan beberapa tahun lalu selalu menghantuinya akhir-akhir ini. Yang membuat ia overthinking adalah sesakit apa luka ayah dan bunda dulu, ia tak bisa membayangkannya.

"Makasih, mas, Na."

"Iya," Rendra menepuk ubun-ubun Haikal. "Oh ya, tadi Chandra lari-lari ke lantai atas sambil nangis buat minta kita ke bawah. Ngeri banget itu, untung gak papa anaknya."

"Chandra?" Beo Haikal. "MAS!" Baru saja ia akan melangkah, tapi keburu limbung, Haikal terlalu terkejut hingga lupa jika kondisinya masih lemas.

"Ya Allah, Kal. Pelan-pelan."

"Sekarang Chandra dimana?" Tanya Haikal.

"Di ruang tv sama kak Marvin." Haikal mengangguk.

"Demam ini," sahut Jazeel.

"Semalem makan dikit kan?" Tanya Rendra.

"Gak nafsu, mas." rengek Haikal.

"Nanti sarapan makan yang banyak! Awas kalo gak dihabisin, " ancam Rendra.

Ngomong-ngomong, sekarang jam dua dini hari. Selama turun tangga menuju kamar Haikal tadi pun Rendra heran, kenapa bisa Chandra terbangun?

"Mas~"

"Diem, Kal. Tidur." Celetuk Jazeel.

"Chandra?"

"Sama Marvin."

**

"Mas Haikal sakit, ya?" Tanya Chandra ketika melihat Haikal.

"Mas sehat, kok." Jawab Haikal.

"Gak percaya!" Sahut Chandra.

"Beneran! Buktinya mas Haikal disini nemenin Chandra main." Chandra termenung, iya juga, seingatnya jika orang sakit akan berbaring di kasur, sedangkan Haikal tidak, tapi— "mas Haikal pucet banget, tuh lemes gini," celetuknya, tangan mungilnya mengangkat tangan besar Haikal yang lemas.

Haikal menghela napas, pintar sekali bocah ini. Laki-laki dengan blazer hitam dan dalaman kaos putih itu akhirnya diizinkan berkumpul di luar kamar. Err, seperti biasa, debat dulu, tapi yang menang tetap Haikal.

"Gue kalo pake blazer ini jadi inget waktu awal ikut club dulu, awal diet juga. Diet yang salah bikin badan gue gak karuan, akhirnya tumbang deh. Astagaaa, inget banget gue sumpah, gimana perut gue nahan laper sama sakit," erang Haikal. Nadhir yang disampingnya hanya mendengarkan.

"Tapi kayaknya sekarang juga gue kek dulu lagi gak sih?" Tanya Haikal, tangannya memegang cermin.

"Maksudnya?" Tanya Jazeel, tak paham arah pembicaraan Haikal.

"Nggak, nggak jadi." Mendengar itu, Jazeel memandang Haikal kesal sekaligus curiga.

**

Jarum jam yang terus berdetak menandakan malam semakin larut. Angin menjadi semakin menusuk ke tulang. Namun, tak membuat Haikal beranjak dari kursi meja belajarnya untuk segera mengistirahatkan tubuh.

Maghrib tadi, suhu tubuhnya sudah tak sepanas dini hari. Hanya sisa pening dan lemas yang masih bersarang. Jadi, ia memutuskan mengerjakan tugasnya yang belum rampung. Niat hati ingin sampai pukul 10, namun rencana hanya rencana, ia lupa waktu hingga sekarang pukul 1 dini hari.

Jendela kamar sengaja ia buka, membuat angin menerobos masuk. Haikal menyadari ketika dinginnya angin sudah berbeda. Mendesah pelan, merutuki keteledorannya. Tugasnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun, Haikal tak punya tenaga lebih untuk berpindah ke ranjangnya.

Kebetulan Haikal memakai kursi kantor yang beroda itu. Jadi, ia bisa berpindah tanpa berdiri. Sebelum tidur, Haikal mengambil gitar diujung dekat meja belajar.

——

Mungkinkah?
Mungkinkah?
Mungkinkah, kau mampir hari ini?
Bila tidak mirip kau
Jadilah bunga matahari

Haikal memejamkan mata sembari menarik napas.

Yang tiba-tiba mekar di taman
Meski bicara dengan bahasa tumbuhan
Ceritakan padaku
Bagaimana tempat tinggalmu yang baru?

Adakah sungai-sungai, itu benar-benar
dilintasi dengan air susu?
Juga badanmu tak sakit-sakit lagi?
Kau dan orang-orang disana muda lagi?
Semua pertanyaan, temukan jawaban

Hari yang gembira sering kau tertawa
Benarkan orang bilang,
ia memang suka bercanda?

——

Ya Allah, sampaikan salam Haikal pada ayah bunda, jika Haikal ikhlas, batinnya.

To be continued...

xixiii, baru kali ini ku gantungin kalian 😎

gantinya, jangan lupa vote komen, ya!

terimakasih sudah berkunjung! 💚

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Haikala dan Saudaranya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang