Keenam

1.5K 133 1
                                    

안녕!

Happy Reading!

***

"Na."

"Eum."

"Pulang jam berapa?"

"Lupa."

"Yang bener, Na."

Jazeel berdecak, lalu bangun menatap kembarannya. "Tadi malem, pas lo ngobrol sama mas Ren." Posisinya berubah jadi menghadap Haikal. Anak tengah itu memejamkan mata, tapi tak tidur.

"Kok gak bilang? Terus kok gak kedengeran mobilnya?" Tanyanya lagi.

"Sengaja, biar lo langsung tidur. Mungkin karena hujan kali, jadi gak kedengeran."

"Ck, nyebelin lo, Na." Jazeel hanya terkekeh melihat Haikal memunggunginya.

"Mau sarapan disini atau ikut di luar?"

Pertanyaan Jazeel selesai bertepatan dengan Rendra yang masuk membawa nampan berisi satu piring, satu mangkuk dan dua air minum.

"Sarapan dulu," Rendra melirik Haikal sekilas lalu menyimpan nampan itu di nakas. Memberikan piring pada Jazeel yang dibalas terimakasih.

"Masih sakit gak?" Tanya Rendra.

"Nggak terlalu, cuma masih takut aja kalo di pake jalan," jawab Haikal, posisinya berubah menjadi duduk. Dini hari tadi, entah Haikal melakukan apa tiba-tiba kakinya nyeri karena tersentak, perkiraan, Haikal bermimpi hingga tak sadar menghentakkan kakinya. Beruntung tak terlalu lama, walau sekarang ia sedikit was-was untuk dipakai jalan.

"Tapi, rencananya gue mau keluar hari ini," imbuhnya, lalu menerima suapan dari Rendra.

"Kemana?" Tanay Rendra, sedangkan Jazeel memilih mendengarkan, toh ada kakaknya ini, jadi ia tak perlu ikut-ikutan mewawancarai Haikal.

"Ngeprint tugas, ngambil barang-barang di club, sama ngambil bunga yang kemarin," celotehnya.

"Loh, katanya mampir aja?" Seingat Rendra, Haikal hanya mampir, lalu kenapa tiba-tiba mengambil bunga?

"Gak inget kalo pesen juga, gue ingetnya ngobrol sama ibu," ibu adalah pemilik toko bunga itu.

"Keluarnya kalo udah bisa dibawa jalan, atau Nadhir sama bang Jen aja yang keluar."

"Nggak, nanti siang juga bakal baikan lagi kok, cuma minta tolong anterin aja." Rendra sih ngangguk saja, ia tak ingin terlalu melarang Haikal ini itu. Anak itu pun sudah dewasa, dia tau kapan harus melakukan ini sendiri atau memilih bantuan orang lain.

"Yaudah, obatnya jangan lupa minum, mas mau nyimpen ini dulu." Jangan heran kenapa Haikal makan cepat sekali, karena porsinya lebih sedikit dari biasanya, keinginan Haikal sendiri. Ia tak mau jika harus kembali mengeluarkan makanannya karena mual. Sudah aturan jika ia sakit, beda lagi jika sehat. Dan saudaranya pun memaklumi, yang penting Haikal makan.

Seperginya Rendra, Jazeel memandang Haikal dengan penuh. "Lo ngambil cuti di club kan?"

Haikal menaikkan alisnya, bingung, "cuti?" beonya, "iya, kenapa gitu?" Tanyanya balik setelah paham.

"Masih ikut latihan?"

Haikal mengangguk, ekspresinya tampak tenang, seolah tak merasa terintimidasi dengan tatapan Jazeel, "tipis-tipis doang."

Jazeel menghela napas, "tapi kan gue cuti ngambil job, Na," jelas Haikal, paham apa yang diresahkan oleh Naka.

"Kak Marvin tau?" Untuk pertanyaan ini Jazeel berharap Haikal mengangguk. Ujung bibirnya tertarik sedikit kala Haikal mengangguk tenang.

Haikala dan Saudaranya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang