Yuri duduk di bawah pohon dedalu memandang air sungai yang mengalir dengan tenang. Angin tidak bertiup hari ini menunjukkan tanda-tanda awal musim panas akan tiba. Untuk sekali ini, pemuda itu merasa damai berada di istana.
Bagaimana caranya menemukan gadis itu, pikir Yuri sambil memilin-milin sehelai rumput liar di antara jari-jarinya. Keputusasaan terpampang pada alis tebalnya yang berkerut dalam. Sudah tentu dia penasaran soal anak perempuan yang jatuh ke sungai, tetapi dia tak mengetahui apa pun selain sebuah buku yang dia temukan di sela-sela lipatan bajunya.
Yuri mengakui kalau dirinya memang terpesona oleh kecantikan gadis itu; tipe khas kecantikan warga Hanyang, cantik dengan kulit pucat dan bertubuh langsing. Dia memutuskan berkeliling sekali lagi terlepas dari kebiasaannya yang tidak pernah betah berlama-lama di istana.
“Oh, itu...” Yuri menyipitkan matanya di bawah cahaya matahari yang terik, menimbulkan bulir-bulir keringat kecil di sekitar kening. “Tunggu...”
Dia melompat dan melangkah dengan ceroboh mengejar punggung seorang gadis yang sedang berjalan membawa setumpuk pakaian di dalam ember. Bangunan istana yang luar biasa luasnya membuat Yuri kebingungan dan seandainya dia sampai tersesat di jalan yang berkelok-kelok itu, bagaimana caranya dia akan menemukan jalan pulang? Namun Yuri menjelajahi tembok istana dengan penuh percaya diri; sikap yang melekat kuat pada darah keluarga bangsawan.
Ke mana dia pergi. Yuri menatap ragu ke arah jalanan yang sepi. Beberapa saat lalu dia masih mengejarnya namun kini benar-benar lenyap. Aneh, sekali pun gadis itu berlari seharusnya dia bisa menangkap bayangan yang tertinggal.
Ternyata, setelah berjalan linglung bolak-balik dari ujung ke ujung, Yuri berhasil menemukan sebuah jalan rahasia. Pintu kayu itu nyaris tidak terlihat lantaran menempel pada dinding pagar yang ditumbuhi tanaman merambat. Terlebih ukurannya juga cukup kecil sekitar dua per tiga dari tinggi badan orang dewasa.
Yuri melompat setinggi-tingginya untuk melihat bangunan di balik tembok batu namun sejauh matanya memandang hanya terlihat kain-kain tipis yang dibentang memanjang. Dia membuka pintu dengan hati-hati dan mengintip ke dalam.
“Sedang apa kamu di sini?”
“Demi Kura-kura Agung!” Yuri tersentak kaget. Dia terhuyung keluar pintu setelah kepalanya menghantam kusen kayu. Pantatnya mendarat di permukaan tanah dengan keras .
“Ya ampun.” Sooyeon buru-buru mengulurkan tangannya dan membantu Yuri untuk berdiri. “Kamu tidak apa-apa?
“Aku baik-baik saja.”
“Kamu tidak pernah belajar bela diri, ya?”
“Apa?” Yuri terkejut meski tuduhan itu benar.
“Keseimbanganmu sangat payah dan mudah goyah sehingga kamu jatuh seperti itu.”
“Apakah keseimbanganmu lebih bagus dariku?”
“Tentu saja.”
“Benarkah? Kalau begitu mengapa kamu bisa tenggelam di sungai?”
Tengkuk Sooyeon meremang. Dia memandang pemuda itu dari ujung rambut hingga alas kaki; sangat mengagumkan, benar-benar tampan, dengan mata lebar berbentuk elips dan mulut seperti terpahat, yang terlihat bagus bahkan saat sedang mencibir. Kulitnya yang sedikit cokelat justru memperkuat kesan lelaki dewasa.
“Kamu yang menyelamatkanku? Tapi, aku tidak melihat siapa-siapa di sana.”
Yuri mengangguk. “Kamu beruntung aku ada di sana. Aku sangat mencemaskan kondisimu jadi aku pergi mencari bantuan. Terimalah ini,” kata Yuri seraya menyodorkan sebuah buku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun
FanfictionTiga hal yang tidak dapat disembunyikan terlalu lama: bulan, matahari dan kebenaran.