“Jadi begitu ya,” ujar Sunkyu. “Yoona yang mendorongmu jatuh ke jurang.”
Taeyeon kelihatan kesal. Wajahnya merah padam. “Aku harus kembali ke istana.”
“Itu rencanamu?” Sunkyu menatapnya dengan mulut menganga seakan tidak percaya ada orang yang setolol ini. “Gila. Kamu mau cari mati?”
“Itu...” Taeyeon goyah, kemudian berhasil mengembalikan sikap tenangnya.
“Jangan karena pernah menjatuhkan aku tiga kali kamu merasa bisa menaklukkan dunia.”
“Bukan begitu,” sergah Taeyeon. “Kamu tidak tahu apa yang mampu dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Kamu tidak melihat apa yang mereka perbuat pada kakekku.”
“Aku bisa melihat lebih dari yang kamu sangka. Bersikap berani itu mudah. Lebih susah untuk tahu kapan sebaiknya tidak bertarung. Jika kamu kembali sekarang, kamu akan mati konyol.”
Ketika Sunkyu selesai bicara, keheningan berkumandang sedemikian berat untuk beberapa saat. Sooyeon membenamkan wajahnya pada telapak tangan dengan putus asa. Dia menahan keinginan untuk menangis.
“Aku bisa mengerahkan prajurit di istana,” kata Taeyeon, walau bagi Sooyeon sekali pun, pemuda itu kedengaran ragu-ragu, seperti bocah yang bersikeras kalau dia bisa terbang.
“Kamu memang gila,” nada suara Sunkyu nyaris berupa bisikan, mengandung nada takjub sekaligus tidak percaya. “Kamu telah dibutakan oleh hasratmu sendiri untuk membalas dendam. Untuk siapa? Demi Kekaisaran? Demi kecintaan pada negara? Demi gadis yang hampir mati karena dirimu? Atau demi egomu yang terluka karena merasa dikhianati oleh sepupumu?”
“Aku harus melindungi diriku,” Taeyeon bersikeras. Dia mengulanginya kembali dengan suara tegang seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Aku harus melindungi diriku.”
“Bukan itu yang kamu inginkan,” timpal Sunkyu. “Kamu ingin menghabisi pelaku pembunuhan itu.”
“Dua-duanya sama saja!”
“Ada perbedaan di antara keduanya dan kenyataan bahwa kamu tidak melihat perbedaan itulah alasan mengapa aku melarangmu kembali sekarang. Kamu akan merusak tatanan politik di istana. Kamu menyulut perang saudara antara ayahmu dan kakak lelakinya. Kamu akan membiarkan jutaan orang mati agar kamu bisa mendapatkan apa yang kamu sebut keadilan. Bukan hanya Yoona yang akan membayar harga demi memuaskan kebutuhanmu akan pembalasan, tetapi siapa pun yang cukup nahas terjebak di dalam badai ketidakwarasanmu ini. Dan tentu saja, kamu tidak peduli.”
Taeyeon menatapnya dengan pandangan kosong, tanpa mampu merespons. Dia tidak mungkin kelihatan lebih terguncang seandainya Sunkyu menamparnya keras.
“Kamu memang tidak pernah peduli akan apa pun,” kata Sunkyu melanjutkan. Dia menelengkan kepala menatap Sooyeon iba. “Benar, kan?”
Sooyeon mengerjap. Bingung. Saat ini mereka berdua menatapnya menuntut sebuah kejujuran. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur dan pura-pura hilang kesadaran.
***
Sesi latihan bersama sang guru hanya berlangsung enam jam, namun Taeyeon masih berdiri lebih lama di bawah terik matahari melatih gerakannya sendiri. Dia melakukan serangkaian lompatan tinggi di udara, mencoba melakukan tendangan putar yang kian lama semakin memukau. Sooyeon duduk di teras untuk menonton.
“Mengagumi pangeran kita?” Sunkyu berjalan santai melewati gadis itu dan bersandar pada tiang di sampingnya.
“Dia tampak berbeda dari saat terakhir kali aku melihatnya,” ujar Sooyeon. Saat ini Taeyeon sedang melakukan putaran penuh di udara sebelum menendang. “Dia benar-benar hebat.”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun
FanficTiga hal yang tidak dapat disembunyikan terlalu lama: bulan, matahari dan kebenaran.