10

28 3 0
                                    

Putra Mahkota tidak muncul di taman hari berikutnya, ataupun hari-hari setelahnya. Meski demikian Miyoung tetap pergi ke taman dengan setia dan berharap langit berpihak padanya; kendati dia tahu, jauh dalam lubuk hatinya, pernikahan mereka bersifat transaksional.

Seminggu kemudian dia melihat laki-laki itu di aula kerajaan. Miyoung buru-buru mengambil langkah lebar berjalan ke arah Putra Mahkota. Dia tak tahu mau berkata apa, namun setidaknya dia ingin melihat wajahnya dari dekat.

Sebelum Miyoung sempat melewati pintu utama, Sooyeon lebih dulu menangkap bayangannya dan berhasil kabur melalui pintu belakang.

“Mengapa tidak ada?” gumam Miyoung sambil menyapu pandangannya secara menyeluruh. “Ke mana dia pergi?”

“Tidak tahu, Yang Mulia,” balas Bora.

Sikap Putra Mahkota sulit diprediksi dan tak terduga, bagaikan binatang liar yang gampang dikagetkan. Tingkah Sooyeon terlalu mencolok seolah tidak mengenal pasangannya. Miyoung terus melihatnya sepintas-sepintas, tetapi Sooyeon punya berbagai cara untuk menolak mengakui keberadaannya.

“Apa sudah cukup jauh?” kata Sooyeon sambil terus menoleh ke belakang.

“Kurasa begitu,” ucap Kasim Kang dengan nafas tersengal-sengal. Usia yang tak lagi muda membuatnya kesulitan berlari.

Sooyeon berpegangan pada sisi pohon dan baru hendak mengatur nafasnya saat dia mendengar suara bernada tinggi dari persimpangan jalan.

“Yang Mulia,” sapa lelaki tersebut.

Kasim Kang berbisik pada Sooyeon, “dia adalah Pangeran Jaejoong.”

Jaejoong menaruh perhatiannya kepada Putra Mahkota. Keringat menetes pada wajah putih itu. Dengan kikuk Sooyeon menyeka dagunya, terlalu gugup untuk menatap langsung ke dalam mata lawan bicaranya.

“Pangeran Jaejoong, ada apa?”

“Apakah Yang Mulia mau ikut perburuan yang akan dilakukan beberapa hari lagi? Sepertinya kondisi kesehatan Anda sudah pulih.”

“Ah, tidak perlu mencemaskan kondisi kesehatanku.”

“Kalau begitu Anda pasti ikut berburu, bukan?”

“Tentu saja.” Sooyeon langsung menyesal sudah membuka mulut. Kenapa dia asal bicara? Dia tidak pandai berkuda dan dia tak tahu cara menggunakan busur panah. Rasanya dia ingin luruh menjadi debu, kemudian buyar di udara.

Pada akhirnya gadis malang itu kembali ke istananya dan mengurung diri dalam kamar. Dia pikir; berharap—Taeyeon akan berusaha menemuinya satu kali saja, tapi pemuda itu tidak melakukannya.

Sooyeon membenamkan wajah di kasur. Dia menahan jeritannya di lapisan kain tebal. Saat dia bersedih, tidak ada orang yang menghiburnya.

Yoona menerobos masuk ke kamarnya dengan membawa beberapa kudapan manis. Dia menyuruhnya makan tetapi Sooyeon menolak.

“Kamu tidak membantu sama sekali jika mati kelaparan,” kata Yoona mendebat.

“Aku tetap akan mati kalau gagal dalam perburuan. Mereka pasti curiga.”

“Masih belum terlambat untuk belajar. Putra Mahkota sendiri juga tidak terlalu hebat dalam berburu binatang.”

“Menurutku itu bukan ide yang bagus.”

Yoona mengedikkan bahu. “Tidak ada pilihan lain. Aku akan membujuk Putra Mahkota selagi kamu belajar memanah. Kamu akan bertemu guru barumu besok pagi.”

“Apa?” Sooyeon langsung duduk tegak di atas tempat tidurnya. “Guru baru?”

“Cara kamu mengelabui orang-orang di istana memang mengesankan tapi kamu mengerti tidak betapa bahayanya kalau Guru Cho masih menjadi guru besarmu? Dia bisa mencium kebohonganmu dan mengirimmu ke penjara atas apa yang kamu perbuat. Itu karena Putra Mahkota lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar bersama guru besarnya.”

The Moon and The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang