Cuaca di luar terasa lebih buruk. Cahaya matahari bagaikan sebuah palu raksasa yang terus menerus menghantam kepala Sooyeon. Namun, kalau mengurung diri lebih lama lagi bersama Putri Mahkota di dalam ruang tertutup, rasanya dia akan menggila. Jadi, dia putuskan membawa Miyoung berjalan di sepanjang taman.
“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Sooyeon.
Itu pertanyaan bodoh, dilontarkan lebih untuk memecah kesunyian ketimbang apa pun, karena seharusnya jelas sekali bagaimana keadaan mereka pada malam itu. Miyoung tertidur lemas, tubuhnya tak bergerak akibat pengaruh minuman keras hingga pada titik di mana perempuan itu jatuh pingsan begitu saja.
“Tampaknya kamu sangat kelelahan. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu,” lanjut Sooyeon merangkai kata-kata sedemikian rupa agar terdengar masuk akal padahal kenyataannya malam itu dia kabur seperti seekor kelinci yang ketakutan.
“Terima kasih atas kemurahan hati, Yang Mulia. Awalnya aku mengira Yang Mulia membenciku karena kecelakaan yang pernah tidak sengaja kulakukan di masa lalu tapi setelah mendengar alasan yang sesungguhnya hatiku menjadi tenang.”
“Kecelakaan?” katanya gusar. Setiap hari, setiap malam di bawah cahaya lilin yang temaram, Sooyeon membaca jurnal milik putra mahkota. Dia memikirkan di bagian mana Taeyeon menulis tentang kejadian itu tapi ingatannya seperti tertutup kabut tebal.
“Saat itu aku menabrakmu dan hampir terjatuh. Yang Mulia tidak ingat?”
“Tidak. Maksudku, itu bukan kecelakaan besar. Aku sudah melupakannya,” jawab Sooyeon merasa begitu lega. Tidak heran jika kejadian tersebut tidak tertulis dalam jurnal. Itu bukanlah sesuatu yang penting bagi putra mahkota. “Kamu juga harus melupakannya.”
“Mana mungkin aku bisa melupakannya. Itu adalah pertama kalinya aku bertemu denganmu.”
“Ah,” Sooyeon menggaruk-garuk belakang telinganya. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain menampilkan ekspresi bersalah yang sepantasnya.
“Bicaralah padaku,” kata Miyoung.
“Tentang apa?”
“Apa saja. Aku senang kita bisa berbicara seperti ini.”
Maka Sooyeon mulai menuturkan cerita-cerita yang pernah didengarnya selama tinggal di asrama dayang; gosip remeh-temeh tentang siapa pejabat muda yang paling pintar, atau siapa pangeran yang paling tampan.
Miyoung menatap wajah putih itu selagi bicara. Dia mengamati hingga detail yang terkecil. Cara mata kanan Putra Mahkota membuka agak lebih lebar dibandingkan mata kirinya sekarang. Cara alisnya melengkung. Cara bibirnya tersenyum hingga cekungan kecil muncul di pipinya.
Kapan Putra Mahkota jadi sehangat ini? Dia tampak begitu kasar saat pertemuan pertama mereka. Namun kalau dipikir-pikir lagi, Miyoung sama sekali belum mengenal karakter pasangannya.
Miyoung mengalihkan tatapannya. Dia menyipitkan mata memandang ke arah jembatan yang melintasi anak sungai. Sekelompok dayang sedang berkumpul dan saling tertawa.
“Sedang apa mereka di sana?” tanyanya.
Sooyeon berdeham sambil menoleh ke belakang. Dia memberi isyarat kepada Kasim Kang untuk maju, yang kemudian membungkuk memberi penjelasan.
“Para dayang sedang berdoa di sana, Yang Mulia.”
“Berdoa?”
“Benar. Dahulu, salah satu dayang Raja melempar kerikil di sana saat mendoakan anak di dalam perutnya. Menurut legenda dia melahirkan anak Raja.”
Mulut Miyoung ternganga seakan tidak percaya. “Bolehkah aku mencobanya?”
“Tidak,” jawab Kasim Kang dengan suara yang bergetar tidak nyaman. “Anda harus menjaga reputasi sebagai putri mahkota. Bagaimana bisa Yang Mulia melakukan aktivitas seorang dayang? Anda tidak boleh melakukannya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun
FanficTiga hal yang tidak dapat disembunyikan terlalu lama: bulan, matahari dan kebenaran.