8

53 11 4
                                        

Dongseok tidak sepenuhnya benar soal tidak adanya peluang. Kenyataan bahwa Taeyeon belum menyerah untuk belajar bela diri hanya permulaan. Lelaki tua itu menolak mengangkatnya sebagai murid tapi dia juga tak mengusirnya dari rumah.

Taeyeon tetap ada di sana. Dia akan tetap bertahan bahkan jika itu membunuhnya sekalipun. Dia menenggelam diri dalam buku pelajaran. Dia ingin membuktikan kalau dirinya pantas dipertahankan dan layak mendapat pelatihan bela diri.

Memang dibutuhkan kegagalan untuk mengingatkan bahwa dia bukan apa-apa, bahwa dia bisa dibunuh sewaktu-waktu. Semenderita apa pun dia saat ini, apa yang menantinya di istana masih jauh lebih buruk.

Setiap jam dilaluinya dalam penderitaan. Dia sendiri yang memilihnya. Mengurangi waktu tidur dan melewatkan jatah makan siang. Kepalanya terus menerus terasa sakit tetapi dia tidak ingin berhenti.

Dia bisa saja kabur jika mau. Dia bisa naik kapal dan pergi ke tempat lain, berharap tidak ada orang yang tahu bahwa dirinya adalah putra mahkota. Namun, semua penderitaan yang dirasakannya saat ini mengingatkan pada seseorang yang pasti akan mati jika dia tidak kembali ke istana.

Selama proses pembelajaran Taeyeon menyadari kaki pendeknya tidak memberi banyak keuntungan. Dia putuskan untuk fokus mempelajari teknik gerakan cepat. Sayangnya, diagram-diagram dalam buku tak dapat memberikan cukup penjelasan baginya. Bentuk kaki diposisikan dalam sudut yang sangat berbeda dari gambar ke gambar.

Kunci utamanya adalah keseimbangan. Taeyeon berusaha keras berdiri dengan satu kaki melawan terpaan angin di atas balok titian yang terbuat dari papan kayu dan tumpukan karung. Jarak balok kayu ke permukaan tanah hampir mencapai satu setengah meter. Taeyeon memegang buku pada tangan kiri, menggumamkan instruksi-instruksi dengan lantang sambil memosisikan kakinya sesuai petunjuk.

“Kaki kanan maju, mengarah lurus ke depan. Kaki kiri ke belakang, vertikal dari garis lurus kaki kanan. Pindahkan bobot tubuh ke depan. Angkat kaki kiri... Oh... Sial!”

Tiba-tiba Taeyeon oleng beberapa saat sampai tubuhnya mendapatkan kembali keseimbangan setelah memutar lengannya seperti baling-baling dengan panik selama lima detik yang membuat jantung nyaris berhenti berdetak.

Tenanglah. Fokus.

Taeyeon bisa mengerti mengapa latihan keseimbangan sangat penting. Dia juga memahami catatan di dalam buku yang menyarankan untuk tidak melakukan latihan itu seorang diri.

Kaki kanannya tergelincir. Dia melempar bukunya agar bisa menahan bobot tubuh yang bergelantungan dengan dua tangan. Dia melompat dan hampir tersungkur dengan wajah hanya tinggal beberapa senti dari tanah.

Dongseok muncul di depan pagar sambil bersiul. Tatapannya bertemu mata coklat itu. Suara siulan Dongseok memelan, lalu menghilang di tengah deru nafas Taeyeon yang terengah-engah.

“Kamu sedikit nekat, ya?” Laki-laki tua itu kedengaran seperti sedang mengejeknya. “Sudah berapa kali jatuh?”

“Baru sekali. Itu karena aku terkejut oleh suaramu.”

“Benarkah?” Dongseok memungut buku yang tergeletak di tanah, membolak-balik halamannya dengan sedikit rasa ingin tahu. “Apa yang sedang kamu kerjakan dengan tulisan di buku ini?”

“Mempelajari teknik gerakan cepat.”

“Hm, kutarik kembali perkataanku. Kamu bukan nekat. Kamu hanya bodoh.”

Dongseok mengeluarkan suara mendekih bernada pendek. Butuh beberapa waktu untuk Taeyeon menyadari bahwa laki-laki itu tengah tertawa.

“Apa kamu benar-benar ingin berlatih dari buku ini? Kamu bisa saja mati. Ini bukan ajaran untuk pemula. Prajurit baru boleh mempelajari buku ini pada tahun kedua.”

The Moon and The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang