Taeyeon belajar banyak hal tentang ilmu filsafat, kesusastraan, logika, aritmetika, sejarah, dan sebagainya kecuali ilmu bela diri. Rasanya tidak cukup hanya dengan mengetahui cara menarik busur panah, mengayunkan pedang ataupun menjaga keseimbangan saat berkuda. Seandainya dia diberikan pelatihan keras seperti para prajurit mungkin rasa takutnya tidak akan sebesar ini. Namun, garis takdirnya tidak dipersiapkan menjadi seorang jenderal. Dia adalah putra mahkota.
Karena Guru Cho kerap kali melarangnya pergi ke barak prajurit, pemuda itu secara diam-diam mengisi perpustakaan dengan buku-buku ilmu bela diri. Koleksi terbesar di seluruh kerajaan. Selama mempelajari buku tersebut Taeyeon menyadari kalau ilmu bela diri sangat komprehensif dan rumit. Dia jadi tahu bahwa teknik bela diri diwariskan melalui garis keturunan; jurus yang berbeda berasal dari kelompok yang berbeda, teknik-teknik serupa diajarkan dan dikembangkan oleh murid-murid dari guru yang sama. Persaingan membuat aliran terpecah-pecah lalu berkembang secara mandiri.
Sejarahnya cukup menyenangkan untuk dibaca tetapi ketika dipraktikkan ternyata luar biasa sulit. Membaca saja tidak akan cukup. Harus didampingi seorang guru yang mampu menunjukkan teknik-teknik tersebut secara nyata sehingga dia bisa merasakan adrenalin pertarungan yang sesungguhnya.
“Sedang apa Yang Mulia di sini?”
“Oh, aku sedang.. mencari buku.. tentang pemerintahan yang bijaksana,” jawabnya gugup seraya melempar buku bacaan itu ke atas rak.
“Mengapa Yang Mulia sekaget itu? Aku tidak seperti Guru Cho yang kejam dan tega memberi hukuman.”
“Tapi kamu pernah menamparku.”
Yoona tertawa kecil. “Yang Mulia benar-benar tidak akan melupakan perbuatanku saat itu, ya? Kira-kira sudah hampir dua tahun berlalu. Apa yang bisa aku lakukan untuk menebusnya?”
Taeyeon mengangkat tangannya bersiap untuk memukul. Dia teringat teori dasar ilmu bela diri soal aksi dan reaksi. Sudut dari trigonometri. Jumlah daya yang pas pada vektor yang tepat. Jika dia memukul Yoona dengan kekuatan besar mungkin lehernya akan patah atau setidaknya hidungnya bisa bengkok.
“Bawa aku keluar istana,” balas Taeyeon. Dengan wajah polosnya dia menjatuhkan lengan ke bawah dan mengibaskan jubah seolah-olah ada debu yang menempel.
“Baiklah. Kalau begitu mari bertemu di gerbang utara. Aku akan menunggumu saat matahari hampir terbenam.”
“Tidak. Kita pergi sekarang saja.”
Lelaki muda itu terhuyung ke belakang dan nyaris terjatuh. Ketika Yoona berhasil menguatkan jejak kakinya, putra mahkota kelihatan terburu-buru dan tidak sabaran. Yoona harus berlari untuk mengimbangi Taeyeon menuruni tangga.
“Argh!” Seorang wanita mengeluarkan pekikan tajam. Sebelah kakinya terangkat ke udara sementara kedua tangannya mencengkeram kuat di belakang leher putra mahkota.
Suasana mendadak hening saat semua mata tertuju ke arah mereka. Taeyeon susah payah mempertahankan postur tubuhnya agar tidak terjatuh.
“Nona, apa kamu baik-baik saja?” tanya Yoona membantu menarik tubuh wanita itu kemudian memeriksa keadaan putra mahkota.
“Kau...” gerutu Taeyeon menatap wanita itu dengan wajah merah padam, “berani-beraninya kau...”
“Yang Mulia,” sela kepala dayang yang berjalan dari arah berlawanan. “Ibu Suri meminta Yang Mulia segera datang ke istananya.”
“Untuk apa?”
Kepala dayang tidak menjawab. Begitu pula dengan para pelayan yang berdiri di belakang. Mereka hanya menundukkan kepala.
Taeyeon bergidik, memejamkan mata rapat-rapat, lalu membukanya kembali. Dia melemaskan ototnya yang tegang dan berjalan dengan langkah berat. Istana ibu suri sama menakutkannya dengan istana utama. Tak peduli apa yang akan terjadi, ini seribu kali lebih baik dibandingkan menghadap raja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun
Fiksi PenggemarTiga hal yang tidak dapat disembunyikan terlalu lama: bulan, matahari dan kebenaran.