11

51 9 2
                                        

Sooyeon pun berlari.

Pembunuhan tak terlihat. Sooyeon tidak menemukan seorang pun di sana namun panah itu bukan tanpa alasan mengincar kepalanya. Persetan dengan perburuan binatang. Sekarang jelas bahwa putra mahkota adalah sasaran utama mereka.

Sesuatu menghantam punggungnya. Dia berputar cepat. Dua orang berpakaian serba hitam berhasil mengendap di belakangnya. Salah satu dari mereka mengangkat pedangnya dan menebas. Dia merunduk menghindari alur tebasan pedang itu dan mendengar suara jeritan.

Logam bertemu dengan otot. Sooyeon tidak berani melihat apa yang baru saja terjadi. Dia terlalu terkejut oleh percikan darah yang menodai wajahnya. Tiba-tiba lelaki itu jatuh di dekat lututnya meraung-raung kesakitan.

Yuri mengayunkan pedangnya ke bawah tanpa berpikir. Raungan itu berhenti. Di waktu bersamaan, satu orang yang lain berhasil melukai lengan kanannya. Yuri menjerit dan menjatuhkan senjatanya. Pembunuh tersebut menendang pedang itu jauh-jauh dan menghantam tulang rusuk Yuri dengan keras. Dia bersiap melancarkan serangan terakhir ketika lawannya roboh.

Namun, lengannya yang menggenggam pedang itu goyah. Pria dengan penutup wajah itu mengeluarkan suara merintih dengan mata terbelalak, menatap tak percaya pada sebuah anak panah yang menembus keluar dari perut. Tubuhnya ambruk ke depan, tidak bergerak.

Pandangan Sooyeon bertemu dengan mata rusa itu. Untuk sesaat dadanya dibanjiri pengharapan selama beberapa detik pendek yang membahagiakan. Dia merasa lega. Yoona telah datang.

“Kalian baik-baik saja?” ucapnya sembari memberikan pedang cadangan kepada Yuri.

“Ya. Terima kasih”

“Sial. Mereka datang lagi.”

“Di sebelah kirimu.”

Tanpa berpikir panjang, Yuri dan Yoona langsung membentuk formasi selaras, saling membelakangi untuk melindungi Sooyeon di balik punggung mereka. Dan yang mengejutkan adalah mereka terlihat sangat kompak seolah bisa membaca pikiran masing-masing. Yuri menangkis serangan dari atas sementara Yoona merunduk rendah untuk serangan jarak dekat.

Seandainya mereka tidak menghabiskan waktu dengan guru yang sama pada masa kecilnya, mereka tak mungkin bisa saling mengimbangi. Mereka tahu persis apa yang harus dilakukan. Gerakan mereka tampak seperti tarian yang terkoordinasi secara spontan. Mereka bukanlah dua bagian dari satu kesatuan, tidak persis demikian, tetapi cukup mendekati.

Dengan saling memunggungi, pedang terarah ke musuh yang berjumlah lima kali lebih banyak. Mereka bertarung dengan keputusasaan ganas. Mereka saling menarik keuntungan dari kekuatan masing-masing. Tak satu pun dari mereka merasa kelelahan karena pertarungan itu bukan untuk mempertahankan hidupnya sendiri, mereka bertarung untuk hidup seorang putra mahkota.

Mereka bertarung begitu baik sehingga Sooyeon setengah meyakinkan dirinya bahwa mereka mungkin akan berhasil keluar dari pertempuran dalam keadaan utuh. Pada kenyataannya, gempuran itu semakin lama akan mencapai ambang batas kemampuan mereka.

“Yoona,” kata Yuri tanpa menoleh untuk memandang ke arah temannya. “Bawa Yang Mulia pergi.”

Kemudian Sooyeon pun paham. Tak ada prajurit yang datang membatu. Mereka jelas kalah jumlah. Yoona menyambar tangan gadis itu dan menariknya untuk berlari.

Jalan yang mereka pilih untuk melarikan diri ternyata berujung buntu. Batu-batu berjatuhan dari tepi jurang, melebur ke ombak yang menggulung lautan.

“Lompat.”

“Apa?” balasnya cepat, ketakutan. Apa dia akan benar-benar mati? Jurang itu tampak mengerikan tetapi senjata para pembunuh terlihat lebih menakutkan.

The Moon and The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang