“Aaaah!”
Anak-anak perempuan itu menjerit dalam nada ketakutan yang tak pernah mereka bayangkan. Ada yang menutup mata, menendang-nendang lantai, menggigit bahu temannya dan ada juga yang hampir pingsan. Selepas pekikan panjang yang menggemparkan, mereka masih terduduk dan bergandengan tangan dengan wajah-wajah pucat seolah kehilangan separuh nyawa.
“Teman-teman,” panggil Sooyeon dengan raut wajah tegang, lalu menjadi datar dan akhirnya tersenyum. “Sekian untuk hari ini.”
“Apa-apaan ini.”
“Baca lagi.”
“Aku ingin mendengar lebih banyak.”
“Cepat.”
“Bacalah.”
“Kumohon.”
“Aku penasaran dengan sisa ceritanya.”
Sooyeon mengacuhkan komentar teman-teman wanitanya dan menyimpan bukunya ke dalam sela-sela baju. Aroma tanah basah tercium saat pintu kamar terbuka. Hujan baru saja berhenti. Dia berdiri di dekat pintu; memegang keranjang kecil untuk semua jenis uang, aksesoris rambut, pita, sapu tangan dan barang apa pun yang bisa dijual.
“Aku menikmati ceritanya,” ucap gadis pertama yang mendatanginya sambil memberikan satu keping koin.
“Terima kasih.”
“Ini.” Sebuah pita warna merah dengan hiasan berbentuk bunga diletakkan dalam keranjang yang hampir terisi penuh. “Aku menyulamnya sendiri.”
“Terima kasih atas kemurahan hatimu.”
“Menurutmu apakah ada yang mau membeli sesuatu seperti ini juga?” tanya gadis lain yang membawa tusuk konde dari kayu. Bentuknya lurus seperti sumpit, tidak ada ornamen apa-apa dan warnanya agak pudar. “Ini sangat jelek, bukan?”
“Karena semua kujual sekaligus, mereka juga akan membayar untuk yang ini.”
“Benarkah? Aku lega mendengarnya.”
Mereka bergiliran keluar satu per satu hingga menyisakan seorang gadis yang tampak enggan meninggalkan kamar. Wajahnya sangat kesal. Mungkin tidurnya tidak akan tenang malam ini.
“Kubilang aku ingin mendengar sisa ceritanya,” kata Sooyoung melipat lengan di depan dada dan mengentakkan kaki ke lantai.
“Lain kali saja. Bukankah kalian harus kembali ke istana?”
Terkadang Sooyeon merasa iri dengan mereka yang telah berstatus resmi sebagai pelayan di istana. Mereka tidak perlu pusing memikirkan dari mana uang akan datang atau bagaimana caranya mereka dapat bertahan melewati hari dengan perut kosong.
Keadaan semacam itu pernah dia alami ketika tinggal di dalam kuil. Biksu tidak diperbolehkan memakan protein hewani sementara Sooyeon sangat menyukai aroma daging panggang dari kedai pinggir jalan. Sesekali dia membungkus jatah makan malamnya dan menyelinap pergi ke pasar, bersembunyi di balik dinding kayu sambil membayangkan jika sayuran hijau yang ada dalam mulutnya adalah sepotong daging.
Sooyeon bersyukur nasib baik yang menyertai langkahnya. Alih-alih menjadi budak keluarga bangsawan, Sooyeon ditakdirkan bertemu salah satu kepala dayang di istana. Dia baru pindah ke tempat itu saat usianya belum genap empat belas tahun. Setidaknya perlu beberapa bulan lagi baginya untuk menjadi pelayan kerajaan.
“Aku sedang tidak bertugas. Jadi, kamu bisa memberitahuku lebih dulu.”
“Kenapa kamu ingin mendengarnya sendirian,” sergah anak perempuan yang lebih tua. Bukan hanya Sooyoung yang penasaran dengan cerita hantu tersebut melainkan mereka semua juga ingin tahu kelanjutannya. “Kita sepakat untuk mendengarkan cerita Sooyeon bersama-sama di waktu yang ditentukan.”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun
FanficTiga hal yang tidak dapat disembunyikan terlalu lama: bulan, matahari dan kebenaran.