Kicauan burung terdengar bagai melodi indah yang mengalun lembut di telinga Kiara. Dengan kedua kelopak mata yang masih terpejam, gadis itu menggeliat. Entah mengapa ia merasakan pegal yang luar biasa dari seluruh tubuhnya, alisnya pun tertaut begitu merasakan sebuah benda basah yang tertempel di dahinya. Mata itu segera terbuka, di raihnya benda tersebut dan ia menatap lamat-lamat handuk basah itu.
Masih dengan kebingungan yang begitu kentara di wajahnya, tiba-tiba saja pintu kamarnya di ketuk dan perlahan memperlihatkan sosok sang kakak dengan nampan yang berada di tangannya.
"Udah bangun?"
Sepertinya Kiara masih bisa merasakan sisa-sisa emosinya semalam, sehingga ia tak berniat menjawab pertanyaan kakaknya itu.
Kiara memperhatikan pergerakan Ayana yang perlahan duduk di tepi kasurnya setelah meletakkan nampan yang berisi bubur itu ke atas nakas yang berada tepat di sebelah Kasur. Kedua binar yang terlihat hampir serupa itu saling bertatapan dan Kiara dapat melihat dengan jelas netra sang kakak yang mulai di penuhi oleh cairan bening, sekali saja Ayana mengedipkan mata, maka cairan itu akan mengalir begitu saja.
Tangan Ayana terulur menggenggam tangan Kiara. "Maafin gue, gue gak seharusnya mukulin lo kayak gitu." Ucap Ayana tertunduk.
Melihat hal itu, turut membuat Kiara merasa sendu. "Selama ini lo gak pernah kayak gitu kak, jujur, sakit banget, bukan di sini." Tangan Kiara menyentuh wajahnya, bekas tamparan Ayana semalam. "Tapi disini." Lanjutnya, dengan menyentuh dadanya.
"Maafin gue, gue kebawa emosi." Ujarnya lagi dan mulai terisak.
Kiara menarik tubuh kakaknya itu untuk ia peluk, bagaimanapun Ayana adalah satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini. Ia pun terisak, saat ingatan akan kedua orang tuanya kembali terbayang.
"Gue kangen mama papa." Kata Kiara yang mulai sesegukan dalam pelukan itu.
"Gue juga." Balas Kiara, yang mana setelah itu hanya terdengar isak tangis yang begitu memilukan. Kekosongan itu terasa seperti menggerogoti, saat melihat dua pelita kehidupan mereka pergi untuk selamanya rasanya seperti hati layu dan mati. Tak ada yang mampu mendeskripsikan bagaimana luka yang sedang mereka rasakan saat ini.
Keduanya berusaha untuk saling menguatkan, karena sadar, yang pergi memang harus di ikhlaskan dan yang di tinggalkan harus tetap melanjutkan hidup sebagaimana mestinya, sampai waktu turut mempertemukan mereka kembali di sebuah keabadian.
Setelah merasa cukup untuk menuangkan segala kerinduan dan rasa sakit itu, keduanya sama-sama melepaskan pelukan tersebut.
Ayana beralih pada nampan yang ia bawa, diambilnya dan diletakkan di hadapan Kiara. "Gue bawa sarapan, dimakan dulu habis itu lo minum obat!"
"Hah? Gue sakit?"
"Semalem lo demam."
"Oh, pantesan ada ini." Sahut Kiara sambil mengangkat handuk basah itu.
"Saking nyamannya yaa di pelukan Gama, sampe lo lupa kalo lo buat kita semua khawatir."
"Whaattt? Ngawur banget lo!" Seru Kiara tak percaya apa yang baru saja di ucapan Ayana
"Siapa yang ngawur? Dia juga yang ngerawat lo, sampe gak tidur semalaman."
Kiara terdiam mendengar hal itu, entah, Kiara hanya merasa tiba-tiba saja perasaannya menjadi gusar saat mengingat kejadian semalam.
"Ra..." Panggil Ayana, membuyarkan lamunan Kiara.
Gadis itu mendongak, menatap sang kakak.
"Gue yakin mama sama papa punya alasan buat nikahin lo sama Gama. Gama itu laki-laki yang tepat buat lo, jadi gue mohon meskipun lo belum cinta sama dia, tapi setidaknya lo bisa perlakuin dia dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Jatuh Cinta| Mark Lee
RomancePeraturan-peraturan setelah kita nikah 1. Gak ada kontak fisik berlebihan 2. Gak boleh tidur sekamar 3. Gak boleh minta anak "Iyaa, kamu udah kasih tau saya sepuluh kali tentang ini" "Biar kamu gak lupa." ~~~ "Hati kamu keras, apa kamu sudah benar-b...