13

2.4K 236 36
                                    

Freen menyetir kendaraannya dengan ugal-ugalan seolah dia tidak lagi memikirkan tentang keselamatannya.

Dia baru saja kembali dari pertemuan ketiga dengan psikolog. Pertemuan yang kacau, Freen bahkan sempat mengamuk di sana.

Freen benci saat dokter itu sudah mulai mengulik tentang dirinya, tentang masalalu yang sangat ingin Freen kubur. Dia sudah berusaha seumur hidupnya untuk hidup normal tanpa bayang-bayang mengerikan yang dia alami. Dia sudah bekerja keras untuk terlihat baik-baik saja di depan semua orang.

Semua yang dokter tadi katakan hanyalah omong kosong yang dia sendiri tidak merasakan pesakitan yang Freen derita selama ini.

Pikiran Freen sedang sangat kalut akhir-akhir ini. Dia telah berusaha berkompromi dengan dirinya sendiri untuk tidak menyakiti Becky tapi iblis dalam dirinya selalu berusaha mengambil alih.

Dia terlalu kuat, pengobatan ini sia-sia. Omong kosong yang hanya akan membangkitkan kenangan mengerikan di masalalu.

Membanting stirnya ke kanan, Freen meminggirkan mobilnya di pinggir jalan. Beruntung kondisi jalan sedang sepi, kalau tidak, tindakannya barusan bisa mengacaukan pengemudi lain.

Freen turun dari mobilnya, meninggalkan kendaraannya begitu saja.
Jarak lokasi dirinya sampai ke rumah masih satu kilometer, tapi Freen memutuskan ingin menempuhnya dengan berlari. Ini salah satu cara dia mengendalikan rasa trauma yang menyerangnya sewaktu-waktu. Dia tidak ingin ketika sampai di rumah, dia melampiaskan semuanya ke Becky.

Langkah kaki itu terasa ringan, Freen seperti melayang, tidak merasakan apa pun kendati dia tidak melakukan pemanasan. Dia terus berlari hingga tiba di rumah.

Wanita itu berhenti sejenak, menetralkan degup jantungnya yang keras. Kakinya terasa kebas dan nyeri namun dia sedang tidak ingin peduli. Dia harus terlihat baik di depan Becky. Seperti yang sudah dia lakukan seumur hidupnya. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Setelah degup jantungnya mereda dan nafasnya kembali normal, Freen melangkah tergesa memasuki rumah. Dia ingin cepat-cepat memeluk gadisnya untuk mendapatkan ketenangan yang hanya dia yang bisa memberikannya.

Freen memelankan langkahnya ketika mendengar suara gadisnya sedang berbicara. Dia bersembunyi di balik dinding yang memisahkan antara dapur dan tempat Freen berdiri, saat mendengar namanya disebut-sebut.
Gadis kecilnya bersandar di bar dengan posisi memunggunginya.

"Tidak. Dokter tidak memberi obat apa pun. Freen bilang mereka hanya mengobrol ringan."

"Aku tidak tahu, Freen tidak mau mengatakannya."

"Aku mengerti. Aku akan mengabarimu jika ada kemajuan."

Freen keluar dari tempatnya berdiri. Dia bisa melihat wajah gadis itu memucat ketika menemukan dirinya berada di belakangnya.

"Freen, kamu sudah pulang." Gadis cantik itu tergagap dengan tubuh kaku seperti es.

Freen tidak menanggapi tapi dari tatapannya, dia sudah dikuasai oleh iblis dalam dirinya.
Dia merampas ponsel di tangan Becky, melemparnya dengan kuat hingga pecah berkeping-keping.
Becky menjerit, jeri melihat wajah Freen yang mengerikan.

"Freen." Becky mundur ketika wanita itu melangkah mendekatinya.

"Salah jika kamu bermain-main denganku, Becky Patricia Xanders," bisik Freen dingin.

Dia menyeret tubuh gadis kecil itu dengan kasar tidak peduli dengan rintihan sakit yang Becky teriakkan.
Freen mengikat tangan gadis itu di ranjang lalu mulai menggagahinya.
***

     Freen meringkuk ketakutan di lantai kamarnya, dia menutup kedua telinganya dengan tangan seolah ada suara-suara yang mengganggunya. Padahal kamar itu sunyi dengan pencahayaan yang temaram.

PET METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang