17

2K 199 15
                                    

Becky mengajak Flo ke kamarnya. Dia sengaja mengundang dokter cantik itu agar menemuinya karena dia tidak bisa sebebas dulu. Dengan Flo yang menemuinya, bodyguard ayahnya tidak akan menguntit di rumahnya sendiri.

"Maaf mengganggu waktumu, Dokter," ucap Becky basa-basi.

"Tidak masalah. Kebetulan jadwalku sedang kosong. Jadi ada apa?"

"Freen. Paman Jason memaksa pihak rumah sakit mengkarantina dia. Padahal dia tidak butuh itu, Freen tidak membahayakan siapapun." Becky mulai menjelaskan. Dia melihat dokter cantik itu mengererutkan keningnya membentuk lipatan-lipatan.

"Maksudmu karantina bagaimana?" tanyanya tidak mengerti.

"Di rumah sakit jiwa."

"Apa?" Dokter Flo terkejut. Itu sangat aneh, Freen tidak segila itu sampai harus dikarantina. Sungguh tidak masuk akal.

"Aku khawatir dia akan semakin tertekan."
Becky mendesah keras karena gusar.

"Lalu kamu ingin aku melakukan apa?" tanya Flo mulai paham alasan Becky mengundangnya.

"Bisakah kamu menyusulnya. Aku tidak bisa melakukan itu, Daddy mengawasiku," pinta Becky dengan ekpresi memohon.

Dokter Flo terdiam sebentar, memikirkan beberapa hal.
"Aku bukannya tidak mau membantu tapi kamu tahu kan, aku tidak bekerja di rumah sakit milikku sendiri."

"Soal pekerjaanmu, biar aku yang urus," potong Becky cepat.
***

    Taxi yang membawa dokter Flo berhenti di depan pelataran Rumah Sakit Helios Berlin-Buch.
Wanita cantik itu segera keluar setelah membayar ongkosnya.
Tidak langsung melangkah masuk, dia menatap cukup lama gedung megah di hadapannya. Kemudian, menarik nafas dalam-dalam, merasakan oksigen mulai mengisi paru-parunya yang terasa sempit. Setelah merasa cukup tenang, dia mulai melangkahkan kakinya menuju gedung megah tersebut.

Tidak terlalu sulit menemui Freen, dokter Flo menunjukkan identitasnya yang seorang dokter.

Dia menatap Freen dari luar dinding kaca berteralis besi. Ruangan itu kosong, hanya ada ranjang kecil di mana Freen saat ini duduk dengan pandangan kosong. Disebelahnya ada rak yang menempel dinding tempat meletakkan beberapa barang.

"Freen Xanders," bisik Flo.

Dokter muda itu mengendurkan ekpresinyaa kemudian memasang wajah teduh yang selama ini menjadi ciri khasnya.
Dia mengetuk pintu dengan pelan lalu membukanya.

"Freen," panggilnya.

Wanita itu menoleh, sedikit terkejut melihat kehadiran sahabatnya.

"Flo, bagaimana bisa kamu ada di sini?" tanyanya terkejut, sekaligus antuasias.
Dokter Flo memeluk Freen sebentar lalu duduk di sampingnya.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya berbasa-basi.

"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memikirkan apapun, bahkan aku tidak bisa membedakan apakah aku baik-baik saja atau tidak," jawab Freen murung.

"Aku ikut prihatin, Freen. Aku tidak tahu mengapa kamu harus seperti ini."

"Aku hanya menuruti keinginan ayahku."

"Tapi kamu tidak seharusnya berada di sini. Kamu tidak sedang membahayakan siapapun."

"Aku tahu. Tapi aku malas berdebat dengan Jason."

"Kalau saja waktu itu kamu mendengarkan aku," gumam Flo, dia menatap langit-langit dengan pandangan menerawang.

"Aku tidak berpikir akan berakhir seperti ini." Freen menunduk dalam.

PET METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang