🌻 11 🌻

182 20 0
                                    

Ibu Rui berdiri kaku di ambang pintu, tak bisa mempercayai pandangannya. Di depannya, berdiri seorang pemuda yang wajahnya begitu mirip dengan Rui, putranya yang telah tiada. Wajahnya pucat, dan air mata mulai menggenang di matanya. Tanpa ragu, ia melangkah maju dan memeluk Ricky erat-erat, tanpa sepatah kata pun.

Ricky terkejut, merasa tubuhnya menegang. Wanita yang tidak ia kenal ini memeluknya dengan penuh emosi, dan ia tak tahu harus bagaimana. Namun, di balik perasaan canggung itu, ada sesuatu yang hangat dan akrab dalam pelukan itu, sesuatu yang ia rindukan namun tak pernah ia alami.

"Rui-eomma..." Gyuvin mencoba menenangkan situasi, suara lembutnya menembus keheningan. Ia mendekat, berdiri di sebelah mereka.

Ibu Rui akhirnya melepaskan pelukannya, air mata mengalir di pipinya. "Maafkan saya," katanya dengan suara bergetar. "Saya... saya tidak bisa menahan diri. Kamu sangat mirip dengan anak saya yang sudah meninggal."

Ricky hanya bisa menatapnya dengan bingung. "Tidak apa-apa, Bu," katanya akhirnya, suaranya serak. "Saya mengerti."

Wanita itu tersenyum tipis, meskipun kesedihan masih terpancar dari matanya. "Terima kasih sudah mengerti." Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Saya harap kita bisa lebih sering bertemu lagi di masa depan."

Ricky merasakan hangatnya perhatian yang terpancar dari wanita ini. Meskipun pertemuan ini terasa aneh dan mendadak, ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh. "Tentu saja, Bu," katanya pelan namun tulus. "Saya akan senang bertemu denganmu lagi."

Melihat hari yang sudah mulai gelap, "Saya harus pulang sekarang," kata Ricky.

Ibu Rui mengangguk, meskipun matanya menunjukkan sedikit kekecewaan. "Tentu, nak. Hati-hati di jalan."

Ricky tersenyum dan memberi salam perpisahan. Saat ia melangkah pergi, ibu Rui berdiri di pintu, memandang kepergiannya dengan tatapan yang penuh makna. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun ia memilih untuk memendamnya, mengingat sebuah janji di masa lalu yang tidak boleh ia langgar. Air mata kembali menggenang di matanya, tetapi ia tetap berdiri tegak, menyimpan harapan dan perasaan yang tak terucapkan di dalam hatinya.

Gyuvin dan Ricky berjalan beriringan dalam perjalanan menuju halte bus. Senja yang mulai turun membuat suasana semakin tenang, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di jalan yang sepi. Gyuvin melirik Ricky beberapa kali, mencoba memahami apa yang ada di pikiran temannya.

"Tadi itu pasti mengejutkan untuk ibu Rui," kata Gyuvin akhirnya, mencoba memecah keheningan.

Ricky hanya mengangguk pelan, masih merasakan campur aduk perasaan yang sulit dijelaskan. "Iya," jawabnya singkat.

Setelah beberapa langkah lagi dalam diam, Ricky menarik napas dalam dan berkata, "Aku... selama ini hanya besar dengan Ayah. Aku tidak pernah tahu rasanya punya sosok ibu."

Gyuvin menatapnya dengan penuh pengertian. "Itu kebetulan yang aneh," katanya perlahan. "Rui juga hanya memiliki ibu. Dan mereka sangat dekat."

Ricky terdiam, pikirannya berputar-putar. Ada sesuatu yang menggelitik di benaknya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Bayangan ibu Rui yang memeluknya tadi terus terbayang, membuat hatinya bergetar. Ia merasakan sesuatu yang hangat, meskipun aneh, dalam pelukan itu.

Melihat Ricky yang tampak tenggelam dalam pikirannya, Gyuvin menepuk bahunya dengan lembut. "Hei, jangan terlalu dipikirkan, oke? Mungkin ini semua kebetulan yang aneh, tapi itu tidak berarti kita harus terlalu memikirkannya."

Ricky mengangguk, meskipun perasaan aneh itu masih ada. "Kamu benar," katanya akhirnya. "Aku harus fokus pada latihan. Perlombaan sudah dekat."

Gyuvin tersenyum, merasa lega melihat Ricky sedikit lebih tenang. "Itu benar! Aku yakin kamu bisa memberikan yang terbaik di perlombaan nanti."

[✓] SUNFLOWER SMILE 🌻 | GYUICKY ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang