"Setiap kita berhak bertanya-tanya atas apa yang belum diketahui pasti jawabannya. Setiap kita lebih sering menerka-nerka."
Arutala Nindyaguna
Sudah lima menit sejak aku berdiri di depan rak buku kamarku. Menatap keseluruhan tempat yang menyisakan ruang-ruang kosong karena sebagian besar pemiliknya sedang tidak berada di sana.
Tanganku bergerak mengambil satu buku dengan sampul bergambar dua orang remaja yang tengah berjalan dan menggandeng boneka beruang besar, tepat di tengah-tengah keduanya.
Beruang Kaludra
Aku membaca sekilas judul dari buku tersebut. Sejujurnya, meski sudah lebih dari dua tahun buku itu selesai, masih terasa bagaimana sisa-sisa perjuangan ketika merampungkan isinya. Bagaimana perjuanganku untuk bisa memeluk buku itu secara nyata. Bagaimana aku memperjuangkan hakku sebagai pemenang dari sebuah lomba.
Akan tetapi ada satu pertanyaan yang sering melintas di kepalaku seperti sekarang. Pertanyaan itu berupa implementasi dari rasa takut yang berkepanjangan. Apakah buku itu layak dibaca? Apakah orang yang membaca akan menyukai isinya? Apakah ada sedikit saja hal baik yang dapat diambil dari kisah yang disuguhkan pada pembaca?
Aku terus saja menimang-nimang. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada jawabannya itu hanya membuat penuh isi kepalaku. Padahal seharusnya hal yang aku pertanyakan adalah di luar kendaliku. Seperti yang aku bilang, semua orang punya selera yang berbeda dalam hal apa pun itu, dan aku tidak bisa memaksa untuk setiap orang harus menyukai apa yang aku sukai juga. Jadi, seharusnya itu bukan masalah besar, bukan? Yang terpenting adalah kenyataan bahwa aku sudah berusaha dengan sebaik-baiknya. Aku suka mengupayakan untuk membuat cerita yang berkesan. Dan aku tidak perlu risau berlebihan.
Usai sepuluh menit berlalu, kuputuskan untuk memasukkan buku itu ke dalam tas. Bagaimana pun, aku sudah mengiyakan keinginan Niscala untuk meminjam bukunya. Akan sangat tidak sopan apabila aku tiba-tiba membatalkan, apalagi hanya karena aku merasa bimbang. Mau bagaimana pun hasilnya nanti, dia akan suka atau tidak, aku tidak perlu terlalu memikirkannya. Sewajarnya saja.
🐈
Kelas masih sangat sepi pagi ini. Tumben sekali. Padahal biasanya sudah ada sekitar tujuh atau sepuluh orang jika aku baru saja sampai. Apakah hari ini aku berangkat terlalu cepat?
Kuletakkan tas punggung di atas bangku, mengaitkan kedua talinya pada belakang penyangga. Sebuah kebiasaan karena aku kurang suka mengaitkan tas pada pengait di samping meja dan lebih sering meletakkan plastik sampah di sana.
Kulirik bangku kosong di samping tempat dudukku. Fira belum sampai, anak itu pasti masih di perjalanan karena rumahnya yang berjarak cukup jauh. Aca dan Rissa juga belum datang, mereka juga mungkin masih berada di angkutan umum.
Aku merogoh kantong rok yang dikenakan, mengeluarkan benda pipih berwarna biru dari dalam sana dan menyalakannya. Tidak banyak notifikasi yang masuk, tidak juga chat dari Niscala. Anak itu sudah sampai sekolah belum, ya?
Sesaat aku mengalihkan pandang dari ponsel ke papan tulis, lalu kembali ke ponsel. Menatap layar yang menyala dan menampilkan aplikasi pesan yang terbuka, menimbang haruskah aku mengiriminya pesan duluan? Sekadar memastikan apakah dia sudah sampai dan jadi mengambil buku yang akan dia pinjam pagi ini atau setelah pulang sekolah nanti? atau mungkin saja dia akan mengambilnya saat jam istirahat. Tapi bagaimana kalau aku ada urusan secara mendadak?
Pagi, Kala. Udah sampai sekolah belum, ya?
Aku mengetik pesan tersebut dan membacanya sebanyak tiga kali. Sebentar, rasanya terdengar aneh sekali, untuk apa aku bertanya seperti itu, ya?
Kuhapus kembali pesan tersebut dan mengetikkan pesan baru.
Kala, jadi ambil buku sekarang nggak?
Aku menatap ketikan pesan itu lamat-lamat. Tidak ada yang aneh, sepertinya sudah cukup. Saat akan mengklik tombol kirim, tiba-tiba saja ....
"Hoi! Ngelamun aja, Bu. Masih pagi, ini. Kesambet nanti!"
Badanku spontan bergidik, hingga tidak sadar tombol kirim sudah kutekan sedari tadi. Rissa cekikikan melihat aku mengelus dada akibat kaget karena ulahnya. Sejak kapan dia sudah ada di belakangku?
"Lihatin apa, sih? Fokus banget kayaknya?"
Rissa menyembulkan kepalanya ke depan, berusaha mencuri pandang ke arah ponselku. Buru-buru aku mematikan layar, takut dia melihat nama asing yang terpampang pada room chat.
"Nggak, bukan apa-apa. Tadi gabut aja karena kalian belum pada datang, jadi buka hp."
Rissa mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku menghela napas lega, beruntung dia tidak bertanya lebih lanjut.
Tidak lama kemudian Amo dan Aca masuk berbarengan. Entah bagaimana bisa mereka berangkat bersama, mungkin bertemu di depan gerbang, karena hanya itu satu-satunya kemungkinan yang masuk akal. Rumah Aca dan Amo berbeda arah, tidak mungkin mereka berangkat bersama sejak dari rumah.
Lima belas menit menuju pukul tujuh. Aku mengentak-entakkan kaki di bawah meja. Menanti balasan dari Kala. Mengapa dia belum juga membalas padahal pesan yang kukirim menunjukkan keterangan sudah dibaca? Fira juga belum menunjukkan batang hidungnya. Apakah dia tidak masuk sekolah hari ini? Tapi kenapa sama sekali tidak mengabari?
Tuk ... tuk ... tuk ....
Ketukan jari di bahu kanan membuatku menolehkan kepala ke belakang. Rossy mengerutkan keningnya, lalu bertanya,
"Kenapa, sih? Kelihatan gelisah banget kayaknya?"
Aku menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa." Kusunggingkan senyum agar tidak terlihat cemas. Saat akan berbalik kembali menghadap ke depan, baru kuingat kalau aku juga mengkhawatirkan Fira. Jadi aku balik bertanya pada Rissa.
"Eh, Fira nggak masuk, kah? Kok udah mepet dia belum datang."
Seakan teringat sesuatu, Rissa merogoh kantong rok yang dikenakannya. Mengeluarkan sebuah amplop putih dan mengangkatnya ke udara.
"Oiya, tadi gue ketemu sama Ola di gerbang. Dia titip surat dari Fira katanya nggak bisa masuk karena ada urusan. Acara keluarga, mungkin saudaranya ada yang nikahan."
"Oalah, pantes aja," balasku.
Aku kembali menghadap ke depan. Hari ini sepertinya akan berlalu dengan sangat panjang dan membosankan.
Aku menutup ponsel dan meletakkan di atas meja secara sembarang. Berharap gelisah yang sejak tadi datang begitu saja menghilang. Kutaruh kepalaku di atas meja, sambil menunggu pengumuman berkumpul di lapangan seperti biasa untuk melaksanakan literasi dan segala hal yang menyertainya.
Namun, baru saja kepalaku menyentuh meja yang dingin, tiba-tiba saja suara Rena dari ambang pintu kelas memaksa kepalaku mendongak.
"La, ada yang nyariin nih!" katanya berseru, membuat semua pasang mata di dalam kelas mengarah padanya.
Aku buru-buru mengecek ponsel, ternyata sudah ada balasan dari Kala. Dia pasti menunggu di balik pintu sekarang. Baiklah, aku akan menemuinya. Tapi hanya sampai memberi novel yang ia pinjam saja. Sebab entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak secara tiba-tiba.
🐈
KAMU SEDANG MEMBACA
NISCATALA [COMPLETED]
Novela JuvenilSebab long distance relationship adalah sebaik-baiknya cara kedua insan itu saling mencintai dan mengingat satu sama lain. Niscala mencintai setitik hal yang terjadi di hidupnya yang pelik. Arutala mencinta sekelumit hal yang hadir di hidupnya yang...