"Kegelapan adalah cara manusia menyembunyikan rasa sakit dan cahaya adalah tempat mereka berusaha melanjutkan hidup."
Niscala Nawasena
Seseorang bisa bertingkah bodoh hanya karena merasakan debaran tidak wajar dalam hatinya. Seseorang menjadi tidak masuk akal saat jatuh cinta. Dan dengan dua kalimat itu gue percaya.
Suatu sore, sepulang sekolah. Gue tiba-tiba membelokkan motor saat melintas Alfamart yang nggak jauh dari rumah. Entah mengapa gue mendadak kepikiran untuk jajan camilan. Meski bukan hal yang aneh sih, tapi keanehan itu muncul saat gue sudah berada di dalam, tepat di depan mesin minuman dingin.
Gue menatap lamat-lamat kaleng susu rasa buah dengan tulisan Korea yang tercetak pada kemasannya.
Beberapa waktu lalu, gue tahu kalau Arutala sangat menyukai NCT Dream, salah satu sub boy grup Korea Selatan dari NCT. Maka dari itu, gue jadi berpikir kalau dia akan senang apabila gue kasih camilan yang berbau Korea. Dan untuk minum kaleng itu, gue udah pernah coba dan rasanya enak juga.
Gue membuka mesin minuman dan mengambil tiga kaleng. Satu buat gue dan sisanya akan gue kasih Arutala. Kemudian setelah mesin itu ditutup kembali, gue beralih untuk mencari topokki.
Berdasarkan apa yang gue tahu, sih, makanan khas Korea itu wajib dibeli dan dicoba karena terkenal dan jadi ciri khas negara ginseng itu sendiri. Gue tahu hal itu karena kadang lewat di beranda sosial media potongan-potongan video dari drama Korea yang tokohnya sedang makan makanan tersebut. Kadang kalo gabut, gue iseng baca-bacain komennya yang kebanyakan nyeleneh. Dan satu informasi lagi yang gue dapat, katanya topokki ini cocok disandingkan sama soda, tapi gue nggak tahu Arutala suka soda atau nggak. Jadi biar cari aman gue beliin susu rasa buah saja.
Setelah menemukan topokki yang gue cari, gue ambil sebungkus lalu segara bergerak ke kasir. Kebetulan banget nggak ada antrean jadi pesanan gue bisa langsung diurus mbak-mbak kasir dan tinggal bayar. Selesai bertransaksi, gue segera keluar dari Alfamart dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Besok, gue bakal kasih camilan ini buat Arutala. Sebagai bentuk support gue biar UTS yang akan dilaksanakan minggu depan berjalan lancar.
🐈
Hari sudah semakin siang, tapi Arutala belum juga membalas pesan yang gue kirimkan. Apakah dia sibuk? Padahal UAS sudah tinggal menghitung hari, tapi dia masih saja mengurusi hal-hal terkait organisasi.
Gue mengedarkan pandang ke sepenjuru kelas. Entah kenapa rasanya kelas jadi agak lebih sepi. Gue baru sadar juga kalo sedari tadi Kama nggak ada, ke mana anak itu pergi? Padahal biasanya kalau nggak main game, dia akan tidur pas jam kosong kayak sekarang.
Buat membunuh rasa bosan karena tumben sekali mata gue nggak ngantuk di jam segini, gue memilih buat berselancar di media sosial, khususnya Instagram. Satu per satu postingan orang gue lihat, beserta komentar dan balasan yang menyertainya. Kadang gue berpikir, kok bisa orang-orang dengan mudah membagikan kegiatan yang tengah mereka lakukan? Berbeda sekali dengan akun gue yang bak akun mati karena hampir nggak pernah bikin postingan atau instastory.
Gue kemudian beralih ke fitur pencarian, gue ketikkan nama akun Arutala dan segera mengklik profilnya saat tersedia. Tidak ada yang berubah. Akun tersebut hanya berisi postingan-postingan berupa quotes dan tulisan-tulisan lain yang masih menjadi satu bagian dari dunianya. Arutala dan kata-kata ajaib miliknya.
Setelah setengah jam berkutat dengan segala apa yang ada di Instagram, gue menutup ponsel dan mengalihkan pandang pada pintu kelas. Tepat saat itu Kama masuk dengan wajahnya yang lesu. Sepertinya habis terjadi sesuatu.
"Kenapa dah muka lo kelihatannya kusut banget?"
Gue bertanya saat dia sudah duduk di tempatnya. Anak itu menyandarkan punggung pada penyangga kursi, tampak lelah sekali. Nggak biasanya Kama kelihatan kayak orang nggak punya semangat begini.
"Biasa, tadi habis kumpulan," jawabnya yang nggak menjelaskan apa pun.
Kening gue berkerut, karena penasaran akhirnya gue memberinya banyak pertanyaan. "Kumpulan apaan, dah? Bagi-bagi duit? Kok gue nggak diajak?"
Kama mendengkus. "Bukan, anjir. Bahas kuliah tadi, bareng Pak Ida, " ujarnya.
"Oh ... pantes muka lo kelihatan lebih banyak bebannya."
Harus gue akui kalau Kama termasuk ke dalam manusia yang pintar. Dalam segi akademik, dia selalu masuk ke dalam jajaran sepuluh atau bahkan lima besar. Dia juga punya mimpi yang jelas. Berbeda dengan gue yang masih ngawang-ngawang. Nggak tahu mau ngapain, nggak tahu mau apa dan gimana kalau udah lulus nanti. Gue rasa untuk sekarang masa depan gue terlalu suram. Tapi selagi masih ada waktu, gue nggak mau memikirkannya lebih dulu. Biar aja gue stres jadi anak SMA yang lagi sibuk buat persiapan tugas akhir, urusan selanjutnya gimana nanti saja.
"Oiya, Kal. Lo tahu kalau Arutala mau kuliah?" Kama bertanya sambil menatap gue yang mendadak kebingungan. Untuk urusan itu, gue nggak pernah tanya langsung sama dia. Gue belum pernah bahas masalah ini, jadi sama sekali nggak tahu rencana dan tujuan dia ke depannya seperti apa.
"Nggak, gue nggak pernah tanya. Kenapa, memangnya?"
Gue tahu, pasti ada sesuatu. Nggak mungkin Kama tiba-tiba membahas topik tersebut kalau nggak ada kaitannya atau minimal memberi sebuah informasi sama gue.
"Dari hasil kumpulan tadi, sih, kalau gue nggak salah lihat dan nggak salah ingat, dia bakal kuliah di luar kota."
Gue terdiam cukup lama mendengar penuturan Kama. Otak gue mendadak seperti berhenti bekerja. Karena tentu saja, mau tidak memperdulikan pun rasanya gue nggak bakal bisa. Tentu hal itu mengganggu.
Gue nggak pernah terpikir kalau bakal menjalani hubungan dengan seseorang secara berjauhan, alias long distance relationship atau ldr. Jangankan untuk itu, karena pacaran pun gue belum pernah. Jadi kayaknya agak mustahil kalau gue harus menjalani hubungan dengan cara yang demikian.
Belum lagi orang-orang sering bilang kalau ldr nggak akan pernah berhasil. Entahlah, tapi kebanyakan gagal karena komunikasinya nggak lancar. Ditambah jarak yang membentang berkilo-kilo meter bisa jadi masalah besar. Di mana saat kedua belah pihak yang berselisih harusnya bisa saling bertemu untuk menyelesaikan, karena jarak yang luas itu justru menghalangi hingga masalah berlarut-larut dan tidak bisa segera ditangani.
Kalau Arutala benar berkuliah di luar kota, itu artinya gue dan dia juga bakal jarang ketemu, bakal berjauhan, dan mungkin bakal sering bertengkar. Apa gue sanggup menjalani hubungan dengan keadaan yang seperti itu? Apa Arutala juga sanggup buat melakukan hal yang sama?
Oh, sial. Gue rasa hari ini nggak bakal bisa tidur dengan tenang.
🐈
KAMU SEDANG MEMBACA
NISCATALA [COMPLETED]
Ficção AdolescenteSebab long distance relationship adalah sebaik-baiknya cara kedua insan itu saling mencintai dan mengingat satu sama lain. Niscala mencintai setitik hal yang terjadi di hidupnya yang pelik. Arutala mencinta sekelumit hal yang hadir di hidupnya yang...