"Tolong tanyakan pada hatimu, bentuk perjuangan seperti apa yang dia mau? Sebab bertahan bukan hanya sekadar kata, melainkan butuh sebuah pembuktian yang nyata."
Niscala Nawasena
Gue benar-benar menyesal. Gue kehilangan kesempatan bertemu Arutala untuk yang terakhir kalinya. Sungguh, gue udah berusaha. Tapi macet sialan itu membuat semua usaha gue sia-sia.
Kronologi kejadiannya, di tengah perjalanan tadi tiba-tiba ada adu banteng antara mini bus dan mobil truk pengangkut pasir. Semua penumpang luka-luka dan sopir mini bus dinyatakan meninggal dunia. Evakuasi berlangsung lama sehingga menyebabkan kemacetan di mana-mana.
Gue nggak ada pilihan lain selain menjelaskan semua dengan sejujur-jujurnya pada Arutala. Gue berharap dia nggak akan salah paham dan masih mau memaafkan kesalahan gue. Semoga saja gue masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan.
Dan sepertinya Tuhan lagi berbaik hati sama gue karena sesuai yang diharapkan, Arutala memaafkan gue dan memaklumi semua yang terjadi. Gue lega luar biasa, sungguh sebenarnya hati Arutala terbuat dari apa?
Kadang gue nggak habis pikir karena dia terlalu baik. Tapi itu jadi salah satu hal yang buat gue makin sayang sama dia di setiap harinya. Dia bisa mengerti gue sekalipun gue nggak banyak bercerita, atau cerita hanya garis besarnya saja. Dia selalu membuat gue nyaman tanpa pernah sekalipun menghakimi. Buat gue, kata-katanya ajaib sekali.
Kalau boleh jujur, alasan gue nggak mau diajak ketemu adalah karena selama ini gue merasa insecure. Arutala dengan segala hidupnya yang tersusun sangat rapi. Sementara gue berantakan sekali. Gue merasa nggak ada apa-apa dibanding dia. Gue merasa dia nggak akan bahagia kalau terus sama gue yang belum jelas.
Beberapa bulan lalu ibu berhenti bekerja. Otomatis keuangan keluarga nggak akan bisa berjalan seperti sebelumnya. Beliau mungkin punya tabungan yang cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tapi sampai kapan kami bisa bertahan? Gue juga nggak mungkin bergantung pada kakak perempuan gue satu-satunya. Dia sudah berkeluarga, jadi kebutuhannya juga mungkin akan banyak.
Makanya saat kakak gue tanya kalau gue mau ngapain setelah lulus sekolah, dengan rasa percaya diri gue bilang kalau gue mau bekerja. Gue nggak mau ngerepotin ibu atau kakak dengan maksa buat kuliah. Cuma karena gengsi, gue nggak akan ngerendahin diri sendiri. Gue nggak kau justru ego yang nantinya mendominasi.
Jadi, selama dua bulan setelah kelulusan itu gue berusaha mencari pekerjaan. Dan ternyata nggak semudah yang gue bayangkan. Entah sudah berapa surat dokumen berisi lamaran pekerjaan yang gue ajukan dan mendapat penolakan. Setiap hari bahkan rasanya gue ingin mengurung diri dan menjauhi orang-orang. Tapi tentu saja semua itu nggak gue lakukan karena setelah jujur dan bercerita pada kakak, gue merasa lega. Dia juga mau membantu mencari lowongan pekerjaan yang mungkin cocok buat gue.
Sampai akhirnya gue dapat panggilan untuk wawancara, lalu gue diterima di gerai elektronik yang menjual ponsel dan segala macamnya. Tentu saja gue senang, karena setelah penantian panjang akhirnya gue mendapat hasil yang cukup memuaskan.
Gue bercerita pada Arutala kalau gue diterima kerja, dia mengucapkan selamat dan berkata kalau gue sudah melakukan yang terbaik. Padanya gue juga cerita kalau merasa sedikit takut karena ini pengalaman pertama, tetapi dia meyakinkan gue kalau selagi gue berusaha yang terbaik, gue pasti akan mendapat hasil yang baik pula.
Dan karena itu kata-kata darinya, gue akan selalu percaya.
🐈
H
ari ini tepat dua minggu bekerja sebagai promotor yang setiap hari berinteraksi langsung dengan para customer. Kadang-kadang gue merasa cepat lelah karena harus selalu terlihat baik dan menyenangkan. Gue udah mulai hafal semua yang harus gue kerjakan. Gue juga dibantu sama Mas Alfie dan Sasya yang senantiasa mengarahkan dan membimbing gue kalau kesusahan. Orang-orang di sini buat gue nyaman.
Setelah membereskan barang-barang gue memutuskan untuk segera pulang. Sudah pukul sembilan malam, jarak dari tempat gue bekerja ke rumah kakak nggak terlalu jauh memang, tapi badan gue rasanya udah pegal-pegal dan minta untuk segera rebahan.
Sampai di parkiran motor, gue melihat Sasya berdiri kebingungan. Tumben sekali dia belum pulang, padahal biasanya jam segini sudah ada yang menjemputnya duluan.
"Sya, belum pulang?" Gue bertanya saat kedua mata kami bertubrukan.
"Eh, Kala. Belum, nih, Kal," jawabnya.
"Belum ada yang jemput?" Gue kembali bertanya.
Sebenarnya hanya basa-basi saja karena mau menawarkan untuk mengantar pun gue nggak tahu rumah dia di mana, searah atau nggak. Gue nggak pernah tanya dan dia pun nggak pernah cerita. Untuk apa juga? Gak seperti itu kan ranahnya privasi. Dan lagi, kalau Arutala tahu gue mengantar cewek sembarangan, sekalipun itu orang yang gue kenal, dia pasti akan sakit hati. Gue nggak mau ngebuat dia sedih meski kalau gue nggak bilang dia juga nggak bakal tahu karena kita berjauhan.
"Yee, kalau udah mah gue nggak bakal ada di sini, dong. Gimana sih, lo?!"
Gue cekikikan. Kemudian dia bergerak mendekat. Wah, siaga satu, mau apa nih dia nyamperin begitu?
"Eh, Kal, mau temenin depan Alfamart dulu, nggak? Sampai gue dapat jemputan. Nggak lama, kok, bentar aja."
Gue nggak langsung menjawab. Dalam hati dan kepala gue terjadi peperangan yang saling berlawanan. Satu sisi gue nggak tega kalau harus ninggalin dia sendirian. Mau gimana pun, dia cewek dan ini sudah malam. Nggak baik, gimana nanti kalau tiba-tiba dia ada yang culik? Gue nggak mau diteror sama polisi karena tentu saja gue jadi orang terakhir yang dia temui.
Satu sisi, gue memikirkan Arutala. Kalau sampai dia tahu gue temenin Sasya dan di depan Alfamart cuma berdua, apa yang nanti dia pikirin? Kita juga jauh, gue nggak bisa gue kasih penjelasan secara langsung. Ya Tuhan, gue bingung.
"Gimana, Kal? Kok, malah bengong."
"Eh, itu," Gue masih belum bisa memutuskan. Tapi kalau terus berdebat dengan isi pikiran nggak akan selesai-selesai. Jadi pada akhirnya dengan berat hati dan doa semoga Arutala bisa mengerti, gue mengiyakan.
"Ayo, deh. Tapin bentar aja, ya, gue nggak bisa lama-lama soalnya."
Sasya tersenyum semringah lalu langsung naik ke boncengan gue. "Iya bentar aja, janji, cuma sampai gue dapat jemputan sebentar lagi."
Gue hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu dengan perasaan was-was yang tiba-tiba muncul, gue melajukan motor ke depan Alfamart yang sebelumnya sudah ditentukan.
Dalam hati gue selalu berdoa, semoga ketika gue sampaikan keberannya Arutala akan percaya. Semoga dia mengerti kalau gue nggak pernah punya pikiran untuk menduakan perasaan dan meruntuhkan kepercayaan yang dia punya.
🐈
KAMU SEDANG MEMBACA
NISCATALA [COMPLETED]
Ficção AdolescenteSebab long distance relationship adalah sebaik-baiknya cara kedua insan itu saling mencintai dan mengingat satu sama lain. Niscala mencintai setitik hal yang terjadi di hidupnya yang pelik. Arutala mencinta sekelumit hal yang hadir di hidupnya yang...