Jangan lupa vote sebelum baca
Happy readingLet's Start
*
*
*
"Ayah berharap bisa punya tujuh anak, Bun."
"Kenapa, Yah? Ini adiknya Huda aja baru lahir, lho."
"Bunda lihat burung beo itu? Armada akan jadi mata, menuntun adik-adiknya untuk berada di jalan yang benar. Lalu, Rezfan akan menjadi paruh, yang akan mengajarkan arti kehidupan pada para saudaranya. Jazil, dia adalah ekor. Menjadi penyeimbang rumah anak-anak. Huda dan Jadid, mereka adalah dua kaki kokoh, yang akan menopang kebahagiaan anak-anak."
"Terus kalo tujuh anak, yang dua itu sayap?"
"Iya, mereka akan jadi bagian penting yang membawa para saudaranya untuk terbang bebas, mencapai tujuan mereka masing-masing. Kita tak tau ke depannya akan gimana, Bun. Namun, setidaknya jika ketujuh pilar penopang itu lengkap dan saling kompak, kita tak akan khawatir, sekalipun tak bisa mendampingi proses kebabasan anak-anak."
Juna terdiam, menatap keluar jendela kelasnya. Tangannya meremat ponsel yang terhubung pada headset, memperdengarkan percakapan dua orang tua dari kelima kakaknya.
Bel pulang berbunyi. Tanpa banyak membuang waktu, remaja itu beranjak dari duduknya. Wajah datar nan suram, menemani setiap langkahnya. Bibirnya mengatup rapat, seolah enggan mengeluarkan suara bahkan untuk sekedar membalas sapaan yang diterima.
Langkahnya lunglai ke arah gerbang, menghampiri sosok dewasa yang telah menanti dengan senyum hangatnya. Begitu keduanya berhadapan, Juna langsung menubrukkan diri pada tubuh berbalut jas itu.
Mada segera menuntun sang adik untuk memasuki mobil. Tanpa melepaskan genggaman tangan dari Juna, pria itu mulai menjalankan mobil meninggalkan area sekolah. Isakan lirih perlahan terdengar, membawa suasana sendu yang seketika menguasai.
"Kenapa? Tes hari ini susah?" tanya Mada sambil mengusap rambut Juna.
Juna menggeleng, kemudian menatap sang kakak dengan kedua mata berkaca-kaca. "Mau Jena, Abang. Juna mau Jena."
Mada menepikan mobilnya untuk berhenti sejenak. Ia pandangi wajah Juna yang semakin basah. Sorot matanya sendu, tak tega melihat kesedihan yang terus menghantui Juna selama beberapa bulan terakhir.
Kedua tangannya merengkuh Juna dalam pelukan hangat, disertai usapan lembut yang menenangkan.
"Juna yang sabar, ya. Abang paham perasaan kamu, tapi kamu nggak boleh terus-terusan kaya gini. Jena bisa ikut sedih tau," bisik Mada, menarik tangisan Juna semakin mengeras.
Tatapan Mada tanpa sengaja menangkap layar ponsel Juna, yang memperlihatkan sebuah rekaman suara yang baru saja diputar.
⭐⭐⭐🌈⭐⭐⭐
Malamnya tanpa bisa memejamkan mata, Juna duduk melamun di depan jendela kamarnya. Menatap langit malam berhias bintang dengan sang rembulan yang menemani. Tatapannya menunduk, melihat sebuah album di pangkuan.
Juna tersenyum melihat foto yang muncul pada lembar pertama. Tangannya meraba foto dua balita berumur 5 tahun yang tengah mencoba piyama baru mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother and Twins
FanfictionFollow sebelum baca yuk hehe😅 --------------++++++++------------------- Berawal dari ketidaksengajaan berujung terjalinnya sebuah hubungan Nasib Mada dan saudaranya itu sama dengan nasib si kembar Je-Ju, hanya saja keadaan mereka jauh lebih beruntu...