Chap 21: Finally

673 87 18
                                    

Happy reading

*

*

*

Ketegangan masih meliputi ruang tengah. Jazil dan Huda duduk di sofa. Di seberang mereka, Om Okta duduk bersama istrinya. Di sofa single, ada kakek Hardi dengan Om Arga yang berdiri di belakangnya. Tante Dina dan Jadid membawa anak-anak menjauh agar tidak mendengarkan pembicaraan itu. Terlebih Jadid harus menangkan Juna yang masih menangisi kembarannya.

"Okta." Suara kakek Hardi memecah keheningan. "Bapak kecewa sama kamu. Setelah semua yang Bapak dan Ibu lakukan, apakah semua itu kurang? Asih bahkan lebih menyayangi kamu daripada anaknya sendiri. Kamu nggak pernah dituntut ini itu. Rio juga jadi cucu kesayangannya. Harusnya kamu bersyukur mendapatkan semua itu."

"Tapi ini namanya nggak adil, Pak!" protes Om Okta. "Aku yang ngurus perusahaan itu selama ini. Lalu kenapa kalian malah kasih perusahaan itu sama bocah-bocah itu?!" Om Okta menunjuk Jazil dan Huda.

"Tidak adil bagaimana? Kamu saja yang serakah. Kamu bahkan sudah meminta keluar dari kartu keluarga bapak, saat tau Hendri mau memberikan warisannya. Jangan serakah Okta." Kakek Hardi menatap tak mengerti pada anak angkatnya itu.

"Dan soal perusahaan itu, kamu nggak sepenuhnya memegang kendali selama ini. Para pemilik saham sudah membuat kontrak kesepakatan untuk menjadikan salah satu putra Ari atau Arga pemimpin suatu saat nanti. Jadi kamu hanyalah pemimpin sementara yang mereka tunjuk," ungkap Kakek Hardi.

Om Okta menggeram marah. Namun ia tak bisa berbuat apapun. Karena secara hukum, dia sudah bukan anggota keluarga ini lagi. Om Okta sudah kembali ke keluarga aslinya tiga tahun yang lalu. Kakek Hardi memberikan beberapa petak tanah sebagai hadiah. Dia tidak termasuk ahli waris karena Kakek Hardi dan istrinya membuat pembagian warisan itu setelah ia kembali pada keluarganya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam," ucap mereka yang berada di ruang tengah. Mereka menoleh dan mendapati beberapa orang yang baru datang. Satu orang merupakan pria tua seumuran Kakek Hardi. Sedangkan dua orang lainnya berseragam polisi.

"Hendri, kau datang," sambut Kakek Hardi.

Kedua pria renta itu saling berpelukan. "Aku turut berdukacita atas meninggalnya Asih. Dan juga aku mau mau minta maaf atas kelakuan putraku yang sudah merepotkan cucumu. Ku harap setelah ini dia mendapat pelajaran yang berharga," ujar Kakek Hendri sambil menatap tajam putranya yang kini berwajah pucat.

"Lalu, kenapa kau datang bersama polisi?" tanya Kakek Hardi heran.

Salah satu polisi mendekat sambil menunjukkan surat di tangannya. "Kami menerima laporan penangkapan atas nama Bapak Okta, terkait kasus percobaan pembunuhan pada ananda Jadid." Semua yang berada di ruangan itu tersentak kaget.

"Bohong! Itu fitnah! Saya tidak pernah melakukan hal itu!" bantah Om Okta gelagapan. 

"Tua-tua banyak drama. Anjirlah!" Terdengar suara bernada cibiran. Dua orang remaja keluar dari balik tubuh polisi itu. Salah satunya memiliki lebam yang cukup banyak di wajah.

"Satria?" gumam Huda kaget.

"Cepet ngomong, tu orang yang suruh lo kasih racun ke Jadid 'kan?!" sentak Satria pada Eki.

Eki sempat melirik ke arah Om Okta. Pria itu memberikan kode agar Eki diam. Setelahnya, Eki melihat ke arah Satria yang berwajah garang. Remaja yang sudah babak belur itu meneguk ludah kemudian mengangguk dengan kaku. Sungguh ia lebih takut pada Satria sekarang daripada orang yang menyuruhnya.

Melihat Eki mengangguk, Om Okta langsung mengambil langkah untuk kabur. Ia berlari menuju pintu belakang. Polisi mengejarnya. Begitu juga Huda dan Jazil, mengingat kedua adik mereka berada di kamar dekat pintu belakang.

Brother and TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang