4: Getting closer?

951 71 9
                                        

"Buset." Esha yang baru saja tiba bersama Bima itu terkejut melihat teman-temannya yang sudah ramai terkumpul disirkuit.

Pasalnya semua orang tengah bersenang-senang dengan beragam macam makanan dan minuman diatas meja. Bahkan gerobak bakso mang Yusuf juga sudah nangkring disana tapi pemiliknya tidak ada.

"Join, Bim, Ca." Galen berucap, diduga sang pelaku dari semua ini. Memangnya siapa lagi?

"Masih kenyang, ntar aja." Esha duduk disofa, hanya memperhatikan teman-temannya yang sedang asik makan.

"Jangan ntar-ntaran, lo gak tau mereka semua pada gragas makannya."

Esha hanya mampu menggelengkan kepalanya. Bima mendekat pada gadis itu dengan membawa sebotol minuman soda dari atas meja dan memberikannya pada Esha.

"Jadi gimana plan kita minggu depan? Semua pada ikut?" Bima membuka suara.

"Ikut dongg!! Gue udah siap mau tebar pesona."

"Heh! Kita kesana mau menebar kebaikan ya, nyet. Lo ngapain mau sok kegantengan." Cibir Zey menanggapi ucapan Galen barusan.

"Iri aja lo." Balas Galen pula dengan sinis. "Suudzon lo, Zey, dosa tau. Maksud gue tuh menebar pesona kebaikan dan keramahan, gak mengarah ke hal-hal yang jelek kok, hehe..." Laki-laki itu menyengir dengan wajah konyolnya yang membuat semua orang memutar mata. Memang tipikal seorang Galen Darendra.

"Pesanan kita udah disiapin dan udah boleh diambil besok. Jef, pake mobil lo bisa?"

"Siap laksanakan, komandan."

••••

Beberapa hari kemudian...

Suasana di rumah sakit hari ini tidak terlalu ramai. Gadis berwajah manis itu saat ini tengah menikmati waktu luangnya yang sungguh jarang dia dapatkan dengan membaca beberapa buku medis dimejanya disebuah ruangan yang juga terdapat beberapa temannya melakukan aktivitas mereka masing-masing

"Woii, Reva." Seseorang masuk kedalam ruangan yang sama. Ia mendekati Reva dengan wajah lelahnya kemudian duduk dikursi sebelah gadis itu, lebih tepatnya dimejanya.

"Sumpah, gue tadi diomelin habis-habisan sama dokter Denis gara-gara gak sengaja nguap di ruang bedah. Tamatlah riwayat gue, Re." Gadis itu merengek didepan Reva dengan wajah yang hampir menangis.

"Kok bisa sih, anjir. Emang ngadi-ngadi lo, udah tau bakal asistensi dokter Denis. Gue aja gak berani ngedip kalau udah berhadapan sama beliau."

"Gue ngantuk banget gak bohong, lo mikir aja gue udah tiga hari gak tidur jaga pasien intensif terus tiba-tiba disuruh asistensi di ruang bedah sama dokter Denis pula. Kalo gue gak lulus gimana dong, Re?" Gadis tersebut sudah benar-benar menangis. Cemas dengan nasib masa depannya yang mungkin akan kacau karena kecerobohannya sendiri.

Reva pun menenangkan temannya itu. "Udah, lo tenang dulu."

"Gak bisa. Beliau bilang bakal ngurangin skor gue, gue takut banget, please..."

"Udah ngomong ke kak Juna?"

Gadis itu menggeleng, ia mengelap sisa-sisa air matanya. "Gue takut diomelin juga, lo tau sendiri kak Juna gimana."

"Mental gue udah gonjang-ganjing dari tadi. Tolongin gue, Re." Tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain mempasrahkan dirinya pada sang kuasa. Apakah ini benar-benar akhir dari karirnya?

Reva menghelakan nafasnya. "Nanti gue temenin ngomong sama kak Juna."

"Yes, makasih ya, Re. Lo penyelamat hidup gue." Ucapnya penuh dramatis.

Break Up? || gxgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang