34. Her Mother

4.9K 373 24
                                    

34 Her Mother

.

Sebuah ketukan pintu berhasil membuat Eirlys beranjak dari pemandangan pagi di jendela kamarnya. Ia berbalik untuk membuka pintu. Terdapat Isabelle yang tengah berdiri manis dengan gaun kuning di hadapannya. Anak itu tampak manis dengan rambut panjang yang diikat menggunakan pita berwarna senada dengan bajunya.

“Ada apa, Isabelle?” tanya Eirlys seraya tersenyum.

“Ibu menyuruhku untuk memanggil Kak Eirlys untuk sarapan pagi di ruang makan.”

“Baiklah, ayo kita pergi ke ruang makan,” jawab Eirlys.

Isabelle yang mulai akrab dengannya mengulurkan tangan, Eirlys menyambut. Mereka pun berjalan menuju ruang makan. 

Terdengar suara mengobrol di meja makan. Pandangan Eirlys terpaku pada punggung seorang pria yang berhasil membuat dadanya bergemuruh hebat. Perasaan gugup menerpanya, ia merasa wajahnya memanas setelah mengingat kejadian semalam.

 “Eirlys! Ayo makan!” 

Beatrice menyadarkan Eirlys dari bayangan kejadian tadi malam. Dan hal tersebut juga membuat Pangeran Korvin menoleh ke arahnya.

Eirlys, dengan hati yang masih berdebar-debar setelah mengingat kejadian semalam, mencoba menghindari Pangeran Korvin dengan mengambil kursi yang cukup jauh dari tempat duduk Pangeran di meja makan yang sudah disediakan. Namun, Beatrice, yang menyadari situasi tersebut, segera menyuruhnya duduk dekat dengan Pangeran Korvin karena tempat duduk yang ia ambil ternyata milik Isabelle.

"Eirlys, maafkan aku. Tempat duduk itu untuk Isabelle," ujar Beatrice dengan ramah sambil menunjuk kursi di sebelah Pangeran.

Eirlys, yang merasa semakin gugup, mengangguk canggung. "Tentu, maafkan aku," katanya lirih.

Dengan langkah gemetar, Eirlys mendekati kursi di samping Pangeran Korvin. Matanya tidak berani menatap langsung ke arah pangeran itu, tetapi gugupnya terasa begitu nyata.

Saat akan duduk, Eirlys, yang sudah penuh dengan kecanggungan, tanpa sengaja melupakan bahwa kursi itu lebih rendah dari yang ia perkirakan. Sehingga, saat ia hendak duduk, tubuhnya terlebih dulu menyentuh kursi, membuatnya terjatuh dengan canggung ke samping.

"Oh tidak!" desis Eirlys dengan wajah yang memerah, sementara Pangeran Korvin menahan tawanya dengan susah payah.

Beatrice mencoba menutupi situasi tersebut dengan tersenyum ramah. "Eirlys, apa yang terjadi?"

Eirlys, yang kini terduduk di lantai dengan penuh kekonyolan, mencoba bangkit dengan malu. "Maaf, maafkan aku. Saya... saya agak tidak stabil," ucapnya, wajahnya semakin memerah.

Pangeran Korvin, yang sebelumnya terlihat serius, tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia tertawa kecil sambil memberikan tangan untuk membantu Eirlys berdiri.

"Tidak apa-apa, Eirlys. Mungkin kursinya yang sedikit berbeda dari yang biasa," ucap Pangeran Korvin sambil tersenyum lembut. Namun, Eirlys merasa itu seperti sebuah ejekan. Ia ingin memaki pria itu.

Eirlys merasa ingin tenggelam ke dalam tanah saat ia akhirnya berhasil berdiri. Matanya tidak berani menatap langsung ke arah Pangeran Korvin. Tampaknya hanya ia yang merasa salah tingkah karena kejadian semalam, pria yang telah mengambil ciuman pertamanya itu terlihat sangat santai, membuat Eirlys makin kesal.

"Saya... saya sungguh minta maaf," ucap Eirlys dengan suara yang hampir bergetar.

Pangeran Korvin hanya menggeleng sambil tersenyum. "Tidak perlu minta maaf. Ini membuat sarapan pagi kita menjadi lebih berkesan."

Eirlys, yang masih merasa memerah, akhirnya duduk di kursi yang seharusnya. Pria di sampingnya ini, bisa-bisanya menampilkan wajah tak bersalah sama sekali. Gara-gara dialah, Eirlys begini.

.

Hari itu pun tiba. 

Eirlys duduk menunggu bersama Pangeran Korvin, Lucian serta Beatrice di meja makan penuh hidangan. Sesekali mereka mengobrol membahas hal-hal kecil.

Sementara itu, Eirlys yang berada tepat di samping Pangeran Korvin tak bisa menutupi perasaan gugup yang menggerayangi sekujur tubuhnya. Malam itu, ia merasa terlalu bersemangat sampai merasa gugup. Ini kali pertama ia akan bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia ini. 

Katanya warna biru itu dapat memberi kesan ketenangan, akan tetapi gaun biru muda yang ia kenakan malam itu tak mampu memberi ketenangan tersebut pada Eirlys.

Suara-suara langkah yang berasal dari balik tubuh Eirlys terdengar mendekat. Dari tempatnya duduk, ia dapat menyaksikan raut penuh penyambutan dari Lucian dan Beatrice ke arah belakangnya.

Aroma bunga lili yang segar menyapa indra penciuman Eirlys. Ruang makan yang mulanya hanya dihiasi oleh wangi makanan kini bercampur oleh kesegaran dari bunga lili.

Bertrice dan Lucian berdiri, dan secara otomatis Eirlys maupun Pangeran Korvin melakukan hal serupa. Mereka menunduk dan saat itulah dari sudut matanya Eirlys mampu melihat sebuah gaun putih panjang menjuntai yang indah. Akan tetapi, wajah pemilik gaun itu belum dapat terlihat olehnya.

Ratu Lily berhenti di ujung meja bagian kanan. Saat itu Beatrice maupun Lucian kembali menegakkan tubuh mereka, dan Eirlys serta Pangeran Korvin melakukan hal serupa.

Eirlys menatap wajah yang begitu mirip dengannya. Selain itu, terdapat seorang pria di belakang Ratu Lily, mungkin pengawalnya.

Mata Eirlys berkaca-kaca, dan tanpa sadar tangannya meraih erat tangan Pangeran Korvin untuk sedikit meredakan ketegangan yang ada. Pria itu melirik padanya, balas menggenggam tangan Eirlys yang sedikit  berkeringat.

"Eirlys! Kau kah itu?" Suara lembut Ratu Lily memenuhi ruangan, menyentuh hati Eirlys dengan hangatnya. Ia gemetar. 

“Iya, Yang Mulia.”

Wanita paruh baya itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Tersirat sebuah kerinduan mendalam dari wajah tersebut. Ia perlahan mendekati Eirlys.

"Bertahun-tahun aku merindukan pertemuan ini," ucapnya dengan suara bergetar.

Eirlys merasa sulit menahan air matanya yang ingin tumpah. Ia melangkah gugup menuju Ratu Lily. Tanpa sepatah kata pun, Ratu Lily memeluknya dalam kehangatan serta kerinduan seorang ibu yang begitu mendalam.

"Maafkan Ibu, Eirlys," desis Ratu Lily dengan suara yang hampir tercekat oleh emosinya. Sementara Eirlys tak mampu berkata-kata, ia teramat terharu.

"Anakku yang cantik," balas Ratu Lily sambil meraih wajah Eirlys, menyeka air mata yang turun. "Kau begitu mirip denganku."

Pangeran Korvin, Lucian, dan Beatrice hanya bisa menyaksikan dengan haru. Mereka merasakan kehangatan dan keintiman yang melampaui kata-kata antara ibu dan anak ini. Suasana di ruangan itu begitu penuh dengan emosi yang mendalam.

"Selama ini, aku selalu membayangkan pertemuan ini," lanjut Ratu Lily dengan suara lembut. "Dan sekarang, kau ada di sini. Anakku, kau adalah cahaya dalam hidupku. Maafkan kesalahan Ibu! Ibu tahu betapa besarnya dosa yang telah Ibu lakukan padamu dan Ayah mu. Bukan maksud Ibu ingin membuang mu dengan sengaja. Iba hanya hanya…"

Eirlys hanya bisa mengangguk, sulit menemukan kata-kata untuk mengungkapkan semua yang dirasakannya. Dia merasakan pelukan Ratu Lily, merasakan cinta yang begitu besar dari seorang ibu yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya.

“Saya mengerti, Yang Mulia.”

Mendengar balasan putrinya, perasaan bersalah makin menggerayangi Ratu Lily. Putrinya sangat dewasa sekarang, ia telah melewatkan banyak hal tak pernah menyaksikan secara langsung bertumbuhan satu-satunya putri yang ia lahirkan.

“Maafkan Ibu, Sayang. Karena kewajiban Ibu harus membiarkan mu tumbuh tanpa cinta dari Ibu, ayah dan juga saudara-saudara mu.”

Eirlys terbuai oleh usapan lembut dari jari-jemari Ratu Lily yang membelai rambutnya.

Pertemuan ini, pertemuan antara ibu dan anak setelah begitu lama terpisah, mengalirkan air mata kebahagiaan, kesedihan, dan rasa syukur yang tak terkira. Bagi Eirlys, ini adalah momen yang selalu akan diingat sepanjang hidupnya.

To Be Continued...

Cursed PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang