14. Umbrella

196 66 68
                                    

Changbin's Salon is SO REAL AWOAKWOWK

Changbin's Salon is SO REAL AWOAKWOWK

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✧༺24.07.2024༻✧

Han berada di dalam mobil yang terparkir di depan pagar rumah, duduk bersebelahan dengan tamu tak diundang, ibunya. Enggan melakukan kontak mata, pandangannya terus tertuju keluar jendela mobil.

"Kejadian tadi agak terlalu tiba-tiba," tutur wanita tersebut dengan suara pelan. "Mama marahin kamu tanpa mikirin perasaanmu. Setelah kita ketemu di Mall waktu itu, semuanya jadi rumit, ya? Mama harap setelah ini semuanya bisa kembali baik-baik aja."

Han mengangguk setuju tapi masih memalingkan wajah. "Ya, kembali seperti kita tidak pernah bertemu."

"Mama tau, dulu mama gak melakukan tugas sebagaimana seorang ibu----"

"Jangan bahas masa lalu. Aku sudah lupa."

Wanita berusia empat puluh tahun di sebelah Han itu tersenyum kaku, merasa canggung. "Mama minta maaf, Hannie. Tapi bisakah kamu tetap bantu mama? Jangan buat kerusuhan yang mempersulit mama lagi, ya. Kamu tahu, 'kan, mama sudah setua ini. Kalau gak bertahan di kediaman keluarga Hwang, mama harus kemana?"

Han menoleh, menggeleng heran, mengernyitkan kening pada sang ibu. "Anda sama sekali tidak berubah. Hanya memikirkan diri sendiri."

"Mama selalu mikirin kamu, Nak. Kamu selalu jadi putra mama. Untuk menebus kesalahan, mama akan penuhi apapun permintaanmu."

Han memberikan penekanan pada gigi gerahamnya, tidak bisa menyembunyikan rasa dongkol yang membuncah di hati. "Jadi sampai sekarang anda masih berpikir kalau aku hanya mempersulit anda serta menganggapku orang yang melukai Ayen?"

"Hannie, mari kita selesaikan masalah ini. Bilang, berapa uang yang kamu perlukan? Tapi janji, jangan sakitin Jinnie sama Ayen, ya?"

Sang ibu sungguh tidak memperdulikan perasaan putra kandungnya, lebih mengkhawatirkan kedua anak angkat. Han mengambil napas dalam. "Sepuluh juta."

Ibu angkat Hyunjin itu tergemap dengan penawaran putra kandungnya.

Salah satu sudut bibir Han terangkat. "Kenapa? Apa keselamatan Hyunjin dan Ayen tidak sepadan dengan itu?"

Nyonya Hwang mengangguk setuju. "O—oke. Sepuluh juta. Besok mama kirim ke rekeningmu."

Han berdecih, terkekeh pelan sembari memutar bola mata lalu segera keluar dari mobil. Setelah itu, ekspresinya berubah muram.

"Changbin baru aja pulang," ucap Lino. Daritadi menunggu di depan pintu pagar.

Han tidak menanggapi, berjalan melewati halaman rumah. Tak ingin pulang dulu. Dia hendak mencari tempat untuk mengeluarkan emosinya.

"Ini sudah gerimis. Lo mau kemana?" tanya Lino ketika pemuda bersurai kelam tersebut bukannya masuk rumah malah melewatinya begitu saja.

Han terus berjalan meninggalkan rumah dengan langkah cepat meski hujan yang semula gerimis kini semakin deras.

"Hannie!" Lino menyusul sembari membawa payung bergambar suatu produk--- hadiah beli kopi---dipayungkan ke pemuda di depannya yang sudah basah kuyub.

"Lo ngapain, sih?!" Han mendorong Lino kemudian berjalan dengan langkah cepat meninggalkannya. Di malam yang dingin disertai hujan itu dia sendiri tidak benar-benar tahu akan kemana.

"Lo mau hujan-hujanan, 'kan? Oke, gue temenin." Lino membuang payungnya sehingga turut diterjang deras air hujan.

Han berdecak. Berbalik mengambil payung yang sudah dibuang, memayungi laki-laki bersurai jingga yang berdiri di hadapan.

Lino memandang dengan tatapan sayu. Diraih tudung jaket yang dikenakan Han sampai menutup kepala, lalu diikat talinya di bawah dagu. "Gue tau lo sekarang lagi gak pengen ngomong apapun, butuh ketenangan. Gue bakal diem. Tapi lo gak boleh gini, nanti sakit. Kalau lo sakit, ntar gak ada yang cari duit dan beliin ikan buat gue."

"Gak apa-apa." Han mengalihkan payung yang dipegang ke tangan Lino, hendak beranjak pergi. Namun tangannya digenggam erat.

"Apanya yang gak apa-apa?!"

"Gue beneran gak apa-apa!"

"Gue punya firasat kalau lo ada masalah, Hannie. Lo gak baik-baik aja."

Han mengangkat sedikit rahang, kedua alisnya terangkat. "Gue udah terbiasa, lo tau? Gue udah terbiasa!"

"Terbiasa apa, hm?"

"Terbiasa sendirian. Terbiasa dengan fakta kalau gak semua ibu sayang sama anaknya. Terbiasa berpikir kalau gue gak berekspetasi dalam hal apapun, maka gue gak akan kecewa!" teriak Han dengan tatapan lebar. Air matanya berbaur menjadi satu bersama hujan yang terus berpresipitasi.

Lino mengerutkan kening, alisnya turun, menangkupkan kedua tangan ke pipi lawan bicaranya. "Gue tau selama ini lo cuma simpan semuanya sendirian. Tapi inget, Hannie. Sekarang lo gak sendirian."

Pupil Han membesar, berkedip lemah kemudian memejamkan mata. Dia melemah. Disandarkan kepalanya ke bahu Lino.

"Kalau semua orang anggap lo aneh, jahat, atau bahkan disaat lo benci sama diri lo sendiri. Gue selalu ada buat lo. Kita sama-sama, 'kan?"

Bergeming untuk beberapa saat, masih belum mengubah posisi, Han mengangguk pelan.  "Hum, rasanya sekarang ... gue punya rumah untuk pulang."

****

Setelah hujan, udara menjadi lebih dingin. Han terlelap di sofa sesudah membersihkan diri karena hujan-hujanan tadi. Lino baru keluar kamar seraya mengenakan kaos. Melihat rekan satu atapnya tertidur, dinaikkan sebelah kaki Han yang menjulur ke bawah lalu menyelimutinya.

"Wujud manusia ini bikin gue cepat lapar," gerutu Lino sembari mengusap perutnya yang berisik seperti sedang ada konser Stray Kids. Membuka lemari di dapur, bosan hanya mie instan. Belum terlalu malam juga, dia memilih mencari makan di luar.

Beberapa meter dari rumah, pendengaran Lino sempat menangkap suara gaduh di sekitar. Dia menyelisik ke sebuah gang dan saat didekati ternyata seorang pemuda sudah tergeletak di sana seorang diri.

"Woy, Seungmin!" Lino beberapa kali menepuk pipi dan dada pemuda yang terlentang dengan kondisi setengah sadar tersebut.

Seungmin baru saja dihajar oleh sekelompok gangster karena belum bisa membayar hutang. Darah mengucur dari pelipis dan hidung, sudut bibirnya robek, serta beberapa anggota tubuhnya lebam karena pukulan dari orang-orang berbadan besar tadi.

"Kenapa banyak banget darahnya. Lo masih hidup?! Seungmin!" Lino masih terus menepuk badan pemuda yang terluka itu, memastikan bahwa masih bernyawa.

Seungmin terbatuk, menahan tangan Lino. "Gak apa-apa. Gue belum mati," lirihnya sembari beringsut mundur dengan siku, bersandar pada tembok di belakang. "Kalau lo pukul lagi, gue bisa mati beneran."

"Kita harus ke rumah sakit."

"Gak perlu!" tekan Seungmin, dia memaksakan diri untuk bangkit. "Ini cuma ... luka kecil," ucapnya dengan suara serak, menahan sakit. Baru dua langkah, dia terjatuh lagi.

"Weh! Seungmin!"

Lino mengedarkan pandang. Tidak ada satupun orang lewat. Digendongnya pemuda sekarat itu di punggung, dibawa ke rumah Han.

Setelah diobati dan istirahat cukup lama, medis ala kadarnya yang telah diberikan mulai menunjukkan reaksi. Samar-samar Seungmin mendengar ada yang memanggil. Perlahan kelopak matanya terbuka dengan pandangan masih agak memburam, dia seperti melihat bayang-bayang sosok sang istri tercinta.

"Y—yeobo ...."

AilurophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang