"Kau memang jahat!"
Perempuan berambut pirang panjang itu berdiri setengah menggebrak meja, menatap ke arah Jeno yang hanya bersedekap tenang dan dingin. Mata perempuan itu berkaca-kaca, hampir menangis. Sementara itu Jeno malahan melirik tak peduli.
"Aku memang jahat." lelaki itu tersenyum manis, wajahnya tampan tetapi sekarang terlihat penuh kebencian, "Kalau kau sudah puas melampiaskan kemarahanmu, kau boleh pergi."
Sebuah tamparan dari jemari lentik berkuku merah berkilauan itupun melayang, mengenai pipi Jeno dengan kerasnya, luapan emosinya akibat perlakukan kejam Jeno kepadanya. Jeno menerimanya dengan tenang, dia sudah terbiasa. Perempuan-perempuan maupun submisif emosional biasanya akan berusaha menyakiti lawannya ketika dia disakiti, itu memberikan kepuasan, rasa yang sepadan bagi mereka.Mata Jeno berkilat, dan setengah tersenyum kepada perempuan di hadapannya,
"Sudah puas?"
Perempuan itu tidak bisa berkata-kata lagi, air matanya berlelehan di pipinya, tak tertahankan. Kemudian dengan tangis terisak-isak, perempuan itu pergi setengah berlari meninggalkan Jeno.
Jeno mengusap pipinya yang terasa panas, menyadari beberapa mata terarah kepadanya di cafe itu. Yah, orang-orang itu pasti tertarik dengan kejadian dramatis seperti syuting drama di depan mata mereka. Jeno tahu, Yeri pasti marah ketika dia memutuskannya dengan kejam, tetapi Jeno tidak pernah mengira Yeri akan bersikap sedramatis itu, kalau saja Jeno tahu, dia pasti akan memilih tempat yang lebih pribadi untuk melakukannya.
Dengan tenang, Jeno menjentikkan jarinya, memberi isyarat kepada pelayan yang langsung tergopoh-gopoh mendatanginya,
"Kopi hitam, jangan pakai gula. Satu." gumamnya tenang lalu duduk menunggu. Seperti kebiasaannya, setelah mematahkan hati orang lain, Jeno akan meminum satu cangkir kopi hitam, untuk menghormati momennya.
Lama kelamaan ini jadi kebiasaan. Jeno mengernyit. Sepertinya Jeno tidak akan pernah bisa menjalin hubungan dengan perempuan maupun submisif di luar sana, tanpa dia tergoda untuk menyakiti mereka. Dan pada akhirnya, itulah yang memang selalu dilakukannya.
Oh, jangan ditanya, Jeno adalah kekasih yang baik hati dan mempesona. Dia akan memperlakukan semua kekasihnya seperti ratu, mereka akan dimanjakan dengan penuh kasih sayang, diberikan prioritas waktunya dan pasti akan merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.... hingga akhirnya Jeno menghempaskannya ketika dirasa waktunya sudah tiba.
Kopi hitamnya datang. Jeno menyesapnya dan mengernyit merasakan kepahitan dan asam khas kopi yang kental. Dia lalu merenung. Mereka semua itu seperti tidak pernah jera, mereka selalu datang dan datang lagi, mengharapkan cintanya. Padahal reputasi Jeno sebagai ladykiller sudah begitu terkenal, mereka malahan menganggap Jeno sebagai hadiah yang harus dimenangkan, merasa bisa menaklukkan Jeno pada akhirnya.
Senyum sinis mengembang di bibir Jeno. Huh! Mereka semua bermimpi.
Jemari Jeno mencengkeram gelasnya dengan erat, terbawa perasaannya. Kebenciannya kepada ibunya telah menyeruak, jauh begitu dalam ke dasar jiwanya yang kelam. Apa yang dilakukan ibunya kepadanya, kepada ayah dan adiknya, memisahkan mereka begitu saja, itu adalah dosa yang tak termaafkan, Jeno tidak akan pernah memaafkan ibunya untuk hal yang satu itu. Tidak akan pernah! Karena kalau ibunya tidak merenggutnya lalu meninggalkannya begitu saja, Jeno seharusnya masih mempunyai kesempatan untuk melewatkan hari-harinya bersama ayahnya. Ayah yang kemudian tidak pernah bisa ditemuinya lagi bahkan sampai hari terakhir ayahnya hidup di dunia.
Setidaknya, pada akhirnya Jeno dipertemukan kembali dengan adik kandungnya, Liz setelah bertahun-tahun terpisahkan tanpa jejak. Entah itu takdir Tuhan, atau memang Tuhan selalu mendengarkan doa Jeno setiap malamnya, adiknya itu yang sekarang sudah dewasa dan cantik, secara kebetulan menjadi anak asuh dari mama sahabatnya, mereka dipertemukan tanpa sengaja, tetapi dari pandangan pertama, Jeno langsung tahu. Meskipun Liz tidak bisa mengingatnya karena ketika mereka terpisah usianya masih sangat kecil, Jeno langsung mengenali adiknya itu. Siapa pula yang bisa melupakan wajah lucu yang menatapnya dengan tatapan mata memuja, menguntitnya kemana-mana dan selalu meneriakkan namanya dengan bahagia di kala mereka kecil itu?
Sayangnya takdir yang sama tidak menyentuh Jeno dan ayahnya. Dari kisah Liz, Jeno tahu, kehidupan ayahnya begitu sulit bersama Liz, ayahnya - seorang pemain biola kelas dunia yang begitu terkenal yang kemudian terpuruk karena cacat di tangannya - bahkan sampai harus bekerja menjadi tukang bangunan untuk menghidupi dirinya. Pada saat yang sama, Jeno hidup berkelimpahan dengan keluarga angkatnya. Rasa bersalah itu terus menyeruak semakin dalam ke dalam jiwanya, semakin dalam dan kelam, membuatnya merasa pahit dan penuh penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes of Life [ Nohyuck ]
FanfictionJeno tidak pernah mempercayai perempuan maupun submisif. Baginya mereka itu racun, sama seperti ibunya yang jahat dan hanya mengejar harta. Baginya cinta tidak pernah ada. Cinta hanyalah untuk pasangan lain, karena dia selalu menutup hatinya. Samp...