02. Empat Sekawan

1.4K 113 10
                                    

Kaki jenjang yang masih sedikit basah menapaki lantai kayu. Bunyi derit terdengar kala hentakan kaki dilajukan tergesa. Selembar handuk menutupi tubuhnya, Keyran berlarian  menuju kamar setelah mandi asal basah.

Delima menggelengkan kepala seraya menutup mata, hembusan napas terdengar berat, ia lelah usai melihat sang putra bungsu tampak begitu sibuk di pagi hari yang cerah ini.

Wanita berusia 44 tahun itu berkacak pinggang, menarik napas terlebih dahulu sebelum kemudian membuka mulutnya. "ADEKKK!! LAP GAK LANTAI YANG BASAH BEKAS KAMU ITU!"

"NANTI BUN, TELAT INI!"

"GAK ADA NANTI-NANTI! KALO SAMPAI BUNDA BALIK LAGI KE DAPUR DAN LANTAINYA BELUM KAMU LAP, LIAT AJA, BAKAL BUNDA JEWER KUPINGMU SAMPE LEPAS!"

Delima menetralkan deru napasnya, ia mengusap dada. Tungkai kaki wanita tiga anak tersebut mengarah ke pintu luar, di mana suami dan putra sulungnya sedang duduk dengan nyaman lesehan di lantai kayu-- menikmati secangkir kopi dan gorengan buah sukun yang sudah tandas setengah piring.

"Kenapa lagi sih, Bun? Masih pagi juga." Wijaya-- sang kepala keluarga berusia 45 tahun itu bertanya dengan nada lembut juga senyum tipis.

Delima turut bergabung di antara kedua lelaki itu, tangannya menjangkau sukun yang masih terasa hangat lalu mengunyahnya tanpa berpikir harus menjawab pertanyaan sang suami.

Raka Samudra, terkekeh pelan. Laki laki bertubuh jangkung serta dada lebar itu menyahuti, "Memangnya apalagi di dunia ini yang bisa mancing emosi Bunda, selain daripada adek?" Delima membenarkan perkataan putra sulungnya.

Merasa lucu, Raka benar-benar bahagia dengan kehidupannya. Pegawai kantoran berusia 24 tahun itu lantas berdiri lalu menyalimi kedua orang tuanya saat melihat Zekran telah muncul dari arah samping rumah sembari mengendarai sebuah vespa berwarna abu-abu.

"Cepetan Bang! Mumpung dospem lagi baik, jadi harus buru-buru ke kampus. Kalo mood-nya udah berubah, judul skripsi ku gak bakal dia acc!"

"Lah? Pamitan dulu sama Bunda Ayah--"

"Virtual aja!"

Keyran tiba-tiba muncul dan melengos begitu saja, ia juga mengejutkan semua orang dengan berteriak dan memotong ucapan Raka. Bocah itu menenteng kresek hitam yang berisi sepatu serta kaos kaki, dengan kaki tanpa alas-- ia berlari kencang mengambil sepedanya di sebuah garasi kayu sederhana, tanpa mempedulikan apapun lagi-- Keyran sudah menghilang dari pandangan dalam seperkian detik, meninggalkan keluarganya yang terdiam melongo saling menatap satu sama lain.

Langit biru terlihat kosong tanpa awan, matahari pagi bersinar dengan begitu terangnya. Burung-burung mendarat di parit kecil untuk mandi, pagi yang damai untuk sebagian orang termasuk para ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah mereka. Sangat aman, damai, dan tentram.

"AYAM BANGKE! KU SATE KAU YA!"

Sayang sekali, kedamaian itu tampaknya tak berlaku untuk Keyran. Di tengah lajunya ia mengayuh sepeda, ada seekor ayam random yang tampak panik melihat roda sepeda Keyran berputar dengan begitu kencangnya. Namun, bukannya ketepi, ayam itu malah berlari semakin ke tengah, menjadikan Keyran hampir masuk parit andai saja tak cepat mengerem.

"Di atas jam 12 malam, semua makhluk hidup milik Tuhan yang maha kuasa, awas aja kau Yam, ya!"

Bulir keringat berjatuhan dari pelipis Keyran. Kedua belah kakinya melanjutkan mengayuh pedal sepeda. Dari semula pelan lalu semakin melaju bak orang kesetanan.

Rumah Juan akhirnya sudah nampak di depan mata. Di kelilingi pohon kelapa dan juga rambutan, sebuah rumah berbahan kayu mungkin sebentar lagi akan terbakar sebab api amarah si pemilik yang sudah naik ke permukaan. Remaja sebaya Keyran itu, tampak memelototkan mata saat melihat keberadaan diri si kunyuk dari jauh.

Malapetaka 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang