12. Sang Dalang

684 92 14
                                    

Tetes demi tetes air jatuh membasahi semesta. Kian berjalannya waktu, gerimis perlahan berubah menjadi hujan lebat. Lebatnya hujan memberikan sentuhan dingin yang nyata. Turun dengan begitu derasnya hingga gemuruh memekakkan telinga. Dahan-dahan pohon bergoyang diterpa ribuan tetes air. Bahkan helai daun pun tak mampu menahan genangannya.

Di dalam kastil berukuran besar, pengap-- masihlah terasa. Debu berterbangan juga sarang laba-laba yang menggumpal di persetiap sudut menjadi pemandangan kala mata menelisik sekitar. Berjalan dengan langkah pelan, menimbulkan sedikit suara pada lantai kayu yang berderit.

Tiga orang anak remaja, berjalan dengan langkah tegap-- menyusuri ruang demi ruang dari setiap lorong yang mereka temui, bermaksud mencari ruangan berangka 109.

Langkah kaki membawa mereka ke sebuah lorong gelap, di lorong area tersebut-- terdapat ratusan foto dinding yang telah menguning. Tak jelas, namun masih dapat dikenali. Satu dua berisikan wajah seorang anak wanita tanpa mata. Beberapa lainnya, wajah anak lelaki yang tak memiliki telinga ataupun mulutnya telah terjahit.

Langkah mereka terhenti di lorong itu. Lorong unik yang terdapat banyak sekali cetakan foto berbingkai usang. Keyran sudah meyakinkan diri untuk tak perlu menoleh ke kiri ataupun kanan. Tapi ekor matanya jelas masih bisa menangkap. Saliva diteguk berat. Foto-foto tersebut sangat nyata, bagaimana mungkin ia bisa mengabaikannya begitu saja.

"Terus jalan." Mendengar suara Nazka yang pelan berbisik, Keyran mendongak. Menatap pada punggung tegap sang sahabat, Keyran tak banyak protes setelahnya, mengikuti langkah dua orang yang lebih tua dengan berat.

Di sampingnya berjalan, sosok mahkluk batu juga turut membersamai. Hal itu, membuat sudut bibir Keyran sedikit terangkat.

Semakin berjalan masuk ke dalam lorong penuh foto, suara hujan dari luar yang sebelumnya teredam kini, kian mengeras. Memberi gertakan pada mereka dengan gemuruh petir yang mengikuti.

Tak hanya deru suara hujan, alunan piano juga terdengar menggema. Dentingnya bagai dilalui oleh jemari halus, sangat indah juga sendu di saat yang bersamaan. Setiap sentuhan pada tutsnya membuat bulu kuduk meremang. Iramanya menyatu dengan rasa sakit yang dituangkan melalui hujan.

Semakin berjalan, semakin terdengar jelaslah alunan piano tersebut. Juga gemuruh hujan yang berasal dari luar. Ketiga remaja secara serentak memelankan laju langkah mereka. Berhati-hati dan mewaspadai.

Kini, mereka telah tiba di ujung lorong. Nazka menyembulkan sedikit kepalanya guna mengintip.

Terlihat,

Setelah melewati satu ruangan yang lumayan luas, terdapat sambungan lorong. Jika mereka dapat berjalan hingga mencapai lorong tersebut, bisa saja mereka menemukan ruang yang mereka cari. Namun, sebelum itu, mereka harus melawati satu ruangan terlebih dahulu. Ruang yang diisi oleh seorang wanita pemain piano.

Tubuh pucatnya melambai pelan ke kanan dan ke kiri. Mata tanpa pupil terpejam damai-- menikmati alunan musik yang jemarinya mainkan. Rambut panjang terurai, kuku-kuku runcing dan tajam terlihat. Ia tampak tenang tak terganggu apapun termasuk bisingnya suara hujan.

Kilat menyambar. Kilaunya bagai flash kamera-- menampilkan bayangan seorang wanita pemain piano.

Saat pertama kali menyadari kekacauan di depan matanya, barulah Keyran mengerti mengapa suara hujan semakin terdengar jelas saat mereka melangkah mendekati tempat ini. Tampaknya hal itu dikarenakan, banyaknya kaca jendela berukuran tiga kali tubuh orang dewasa telah pecah kacanya.

Jendela yang mengelilingi tempat ini-- tanpa kaca, maka tak heran jika seisi ruangan mulai dari lantai, dinding, hingga barang benda basah kuyup diterpa hujan deras. Air menggenang di atas beberapa tempat. Lantainya kayu yang melebar tanpa sela, dapat diprediksi area tersebut cukup licin untuk dilalui.

Malapetaka 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang