"Aku, aku lalai. Tolong, tolong putraku! Aku mohon! Aku mohon! Putraku! Dia--"
Bagai gerakan pelan yang berbayang. Seorang ibu tampak kacau, hatinya dipenuhi kabut hitam kala rasa gelisah kian semakin merengkuh dirinya bagitu hangat.
Gema tangis bercampur teriakan penuh ke-frustasian. Ribuan harapan semu dilangitkan di atas atap rumah salah satu warga-- tempat mereka berkumpul kini.
Kek Rajad hanya mampu menghela napas sembari memijat pangkal hidungnya. Matahari baru saja tenggelam, namun, ia dan warga desa harus dihadapkan laporan mengenai salah satu anak warga yang menghilang di sekitaran area hutan kabut.
Hal itu, diawali dengan kepergian pasangan ibu dan anak ke seberang hutan kabut untuk mencari kayu bakar. Tetapi, kala waktu semakin sore, kelalaian sang ibu mengakibatkan ia kehilangan jejak anaknya.
"Apa ada sesuatu yang bisa kita lakukan, Kek?" tanya Raka dengan raut wajah prihatin. Ya, Raka Samudra, putra sulung dari Wijaya berada di sana. Tak hanya ia, keluarganya dan juga keluarga dari ketiga teman Keyran juga berada di desa Padang Batu. Mereka baru tiba dengan tujuan mengunjungi anak dan adik mereka, lalu, tanpa sengaja bertemu kek Rajad di pertengahan jalan. Pertemuan itu akhirnya membawa mereka semua berkumpul di tempat ini sekarang.
Kening laki-laki tua itu berkerut dalam. Tentu perasaan cemas menghantui dirinya, itu semua disebabkan, setelah sekian lama, akhirnya kejadian naas seperti ini kembali terjadi.
Di sela rasa gelisah yang menjadi-jadi, gema langkah kaki terdengar tergesa dari arah luar. Burung gagak menyalak lalu terbang mengitari rumah, kala merasa, ketenangannya hinggap di dahan pohon terganggu. Bulan tak terlihat rimbanya, angin bertiup kencang. Suasana tampak mencekam dengan sedikitnya pencahayaan.
Raut wajah pias mengiringi kedatangan tiga orang remaja.
"KEK! KEK RAJAD!"
Teriakan terdengar dari suara yang sangat Raka kenali. Tentu saja, kehebohan di luar rumah membuat beberapa orang panik seketika. Delima, adalah orang yang pertama berdiri saat mendengar suara putranya.
Dengan tampilan kacau, terlihat tiga orang remaja bertubuh basah.
"Keyran?!" Tentu Zekran begitu terkejut dengan keadaan adiknya yang tampak tak terlihat baik. Terakhir kali pertemuan mereka, jelas senyum masih mengelilingi ketiga wajah itu. Tunggu tiga? Di mana Juan?
"Ada apa ini?" Kek Rajad menghampiri tiga sekawan yang harusnya menjadi tanggung jawabnya itu. Napas mereka memburu, dengan jejak air mata-- jelas membekas di pipi Keyran.
"Nazka? Keyran? Zerico?" Arli-- ibu dari Nazka kepalang panik melihat kondisi ketiga anak itu. Ia turut melangkah tergesa mengiringi yang lainnya.
Tak jauh berbeda, reaksi yang lain juga sungguh terkejut saat melihat keadaan para remaja yang baru saja datang itu. Baju basah, rambut tak tertata rapi, napas memburu juga tubuh bergemetar.
"Juan--"
"Juan? Juan kenapa, Key?! Di mana dia?" Medila berteriak memotong perkataan Keyran. Kepanikan membuat dia tanpa sadar meraih bahu Keyran dan menggoncangnya, hal itu segera dihentikan oleh putra sulungnya-- Cakrawala. Hati ibu mana yang tak gelisah ketika mengetahui putra bungsunya tak berada di hadapan mata beriringan dengan kasus ganjil yang baru saja ia ketahui telah terjadi di desa ini.
"Juan hilang, dia ..." Keyran bergeleng sembari mencengkram kepalanya dengan sebelah tangan. "Tidak! Kami masuk ke hutan kabut."
"Juan, kami kehilangan dia ... kami salah, maaf ...."
Darah berdesir kuat mengirim degup jantung yang seakan berhenti berdetak. Suasana seketika hening kala tubuh mereka yang mendengar penuturan Keyran terasa membeku. Delima menutup mulutnya dengan mata yang terbuka lebar. Ia kehabisan kata-kata untuk menanggapi bungsunya yang memang banyak tingkah itu, lidahnya sangatlah kelu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malapetaka 1980 [END]
Mystery / ThrillerAda begitu banyak hal di dunia ini yang tak kita ketahui. Dunia yang luas masih menyimpan misteri, tidak sepantasnya rasa penasaran membuat diri menentang larangan yang telah dibuat oleh orang-orang terdahulu. Pada tahun 1980, empat sekawan diharusk...