04. Niyama

1K 88 6
                                    

Lokasi tempat mereka memberhentikan kendaraan roda empat milik pak Sutrosmo berada di titik yang tak jauh dari pemukiman warga. Ayunan langkah kaki membawa mereka ke sebuah lokasi yang diisi oleh rumah-rumah tinggi beratapkan jerami.

Keluar dari area hutan, kehangatan sedikit menyapa.

Kilau jingga matahari sore, menyoroti rumah-rumah yang belum memiliki penerangan. Sapa hangat, satu dua kali terdengar dari pihak warga ke rombongan Keyran. Usai mengutarakan niatnya, pak Sutrosmo memimpin jalan menuju sebuah galengan hingga beberapa anak desa menatap kepergian rombongan itu dengan raut penasaran, namun, sebelum sempat menyamai laju langkah-- mengejar-- para orang tua lekas menarik tubuh mereka untuk menghentikan. Gelengan kepala mereka dapatkan sebagai peringatan.

Galengan, ialah sebuah sebutan untuk jalan setapak di antara persawahan. Kiri dan kanan sejauh mata Keyran memandang hanyalah hamparan padi yang masih berwarna hijau. Burung-burung terbang mengitari langit semesta. Perjalanan terus mereka tempuh hingga persawahan tenggelam dan tergantikan oleh pepohonan tinggi.

Disadari oleh mereka semua jika pencahayaan mulai meredup, hal itu disebabkan karena lebatnya pohon dan akar yang bergelayut menutupi sinar matahari yang hampir tenggelam. Hawa dingin kembali menusuk hingga ke tulang.

Keyran mengangkat pergelangan tangannya, kala langkah kaki mereka serentak berhenti di sebuah kampung. Jarum jam bergerak menimbulkan suara. Pukul enam tepat.

Menoleh ke samping. "Padang Batu." Keyran bergumam saat matanya membaca plang kayu usang yang tertancap tinggi di ambang pintu masuk kampung.

Semakin redup cahaya matahari, maka semakin berkabut pula lah area sekitar. Keyran merasakan bulu kuduknya nyaris berdiri.

Pintu-pintu rumah warga sudah tertutup rapat, cahaya lentera sedikit menembus celah kayu. Aroma asap sedikit tercium, tampaknya ada salah seorang warga yang baru saja membakar sampah.

Hari semakin gelap, dan tempat ini begitu sunyi bagaikan kota mati.

Pak Sutrosmo berbalik menatap keempat siswa didiknya. "Hari sudah semakin gelap, Bapak harus kembali pulang. Kalian telusuri lah desa ini dan cari kediaman seorang sesepuh bernama Rajad."

"Tapi Pak--"

"Tidak akan sulit untuk kalian menemukan kediaman beliau. Jumlah rumah di tempat ini sedikit, hanya saja jarak antar rumah sangat renggang. Jika kalian sudah bertemu beliau, sebut saja namaku."

Keyran menatap tak percaya pada pak Sutrosmo yang meninggalkan mereka tanpa rasa ragu sedikitpun. Tiga sekawan saling lirik dengan raut cemas. Tanpa diduga, Juan melangkah maju. Langkahnya seakan mantap tanpa keraguan sedikitpun.

"Mau kemana?" Nazka bertanya pada Juan dengan nada agak datar. Ia sungguh merasa mengatuk dan malas untuk beraktifitas.

Menghentikan langkah-- tanpa susah payah berbalik, Juan sedikit menolehkan kepalanya ke belakang. "Mau sampai kapan kalian diam di tempat seperti itu? Sebentar lagi malam," ujarnya tak acuh seraya kembali melajukan langkah.

Keyran menggeram tertahan, alisnya menukik tajam pun kedua tangan yang mengepal erat. Sedari tadi ia berusaha sabar dengan tingkah Juan yang tampak berbeda tapi sekarang kesabarannya benar-benar di ujung batas.

Melangkah pasti dengan irama tekanan di persetiap langkah, Keyran menjangkau bahu Juan lalu membalik tubuh temannya itu dengan kasar. "Juan, kau ini kenapa sih?!"

Menaikkan alis. "Kenapa?" Juan merasa tak ada yang salah dengan dirinya.

"Kamu mendadak beda banget, sumpah. Iya sih, biasanya kamu emang ngeselin tapi sekarang ngeselinnya tuh beda. Kami ada buat salah apa sih sama kamu?"

Malapetaka 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang