Simbol-simbol yang beragam-- terukir pada dinding gua, ternyata adalah bentuk pernyataan bahwa adanya sebuah perkampungan penyihir.
Setelah melewati gua kapur yang di dalamnya mengalir aliran air, mereka tiba di sebuah tempat yang cukup membingungkan. Tempat ini di kelilingi tebing kapur yang berukuran tinggi-- itu artinya jalan buntu. Mereka tidak akan bisa pergi kemanapun selain dari mengitari kampung atau kembali ke luar dengan cara berbalik arah.
Dari balik batu besar, empat orang sekawan itu bersembunyi. Dan penampakan tungku-tungku api yang menyala seolah sedang merebus sesuatu adalah suatu hal yang bisa dilihat jelas oleh mereka. Di halaman beberapa rumah.
Tampilan beberapa orang yang berlalu lalang, layaknya manusia biasa tanpa jenis kelamin yang pasti. Hanya saja, tubuh mereka tinggi besar-- mungkin, seperti tubuh orang-orang barat.
Pakaian mereka sangat tertutup, wajah mereka datar dan pucat. Tak menampilkan ekspresi yang berarti walau tanpa sengaja tangannya tercelup ke dalam tungku air mendidih.
"Tempat apa ini? Mereka manusia?" Juan mengerutkan keningnya, menatap tak percaya akan adanya aktivitas kehidupan normal di tempat ini. Rumah-rumah selayaknya hunian manusia yang berjejer rapi dan normal, lalu lalang beberapa orang pun tak menunjukkan tanda keanehan.
"Gak tau ini kita lagi beruntung atau enggak."
Zerico menatap pada Keyran yang baru saja bersuara. "Emangnya kenapa?"
"Tadinya aku mikir, kalo gak bisa lewat sini, kita bikin air perasan anggur buat lawan monster di gua kapur tadi. Tapi pas nemu perkampungan yang punya alat masak selengkap manusia gini, buat aku kepikiran lagi, kenapa kita gak sekalian bikin cola aja? Biar monster kapur gak sekedar melemah tapi kerancunan sampe pingsan." Keyran menjawab. "Kan, itu keuntungan juga buat kita. Gak usah ngelawan mereka terlalu keras."
"Kamu bahas-bahas cola daritadi itu karena pengen bikin?"
Keyran menatap heran pada ketiga temannya yang memasang wajah terjkejut. Apa ada sesuatu yang aneh dari kalimatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Keyran polos. Kedua mata bulatnya mengerjab bingung.
"Gila, Key! Aku tau kamu pinter tapi selama ini cuma ketutup tingkah ngeselinmu aja, tapi sumpah gak nyangka aku kamu sepinter itu!" Zerico berceletuk, yang mana langsung diangguki oleh kedua orang temannya yang lain. Anggapannya seperti ini, mereka harus melewati satu persatu anak tangga misteri namun, Keyran sudah siap sedia untuk situasi dua langkah ke depan.
Keyran tersenyum tengil dengan raut wajah yang terlihat sangat menyebalkan. Mengibas rambut ke belakang, sifat narsisnya keluar. "Oh, ya jelas dong. Aku emang sepinter itu ... baru nyadar, ya, kalean?"
Sikapnya mengundang dengusan muak juga lantas membuat ketiga temannya merasa menyesal telah memuji dirinya. Anak itu tertawa puas lalu membalikkan badan. Sorot matanya meredup, entah mengapa ia jadi merasa sangat merindukan keluarganya.
Di bawah rindang pohon mangga seorang bocah kecil terlihat mengamati sesuatu. Helai daun pepohonan, melambai syahdu di kedamaian.
Langkah kaki berpijak dengan tenang di bumi semesta. "Key? Ngapain?" Raka mendekat pada adik bungsunya kala melihat ia berjongkok menghadap pohon mangga yang sedang berbuah lebat di halaman rumah.
Bocah berusia tujuh tahun itu berbalik saat mendengar suara sang kakak. Mata bulat penuh binar juga helaian rambut yang bergoyang saat angin berembus menghiasi wajah lucunya.
Tubuh pendek nan gembul saja sudah sangat lucu dipandang, lalu kini bertambah menggemaskan kala wajah kecilnya cemong dengan noda dari mangga yang ia gerogoti sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malapetaka 1980
Misteri / ThrillerAda begitu banyak hal di dunia ini yang tak kita ketahui. Dunia yang luas masih menyimpan misteri, tidak sepantasnya rasa penasaran membuat diri menentang larangan yang telah dibuat oleh orang-orang terdahulu. Pada tahun 1980, empat sekawan diharusk...