Chapter 10

12 2 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 1.30 tengah malam. Ghyarra terbangun dari tidurnya saat merasa tak nyaman dengan tenggorokannya yang kering.

Ghyarra menoleh ke arah nakas dimana disana biasanya ia menyimpan gelas berisi air putih.

"Lupa isi lagi". Gumam Ghyarra saat melihat gelas itu telah kosong.

Ghyarra berjalan pelan menuruni anak tangga, tujuannya sekarang adalah dapur. Ghyarra mengehentikan langkahnya saat tiba di ruang tamu, disana terlihat seorang duduk di sofa ruang tamu.

Ghyarra berusaha mengamati siapa sosok yang sedang duduk di sofa, namun Ghyarra tak dapat melihat jelas wajah orang itu karena lampu ruang tamu yang telah di matikan sebagian dan posisi orang itu yang membelakangi Ghyarra.

Ghyarra mengucek matanya beberapa kali. "Gue lagi mimpi kali ya?". Gumam Ghyarra bertanya pada dirinya sendiri.

Ghyarra mencoba acuh, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur. Saat tiba di dapur Ghyarra berjalan menuju dispenser, setelah gelasnya penuh ia pergi meninggalkan dapur.

Ghyarra kembali berhenti saat melewati ruang tamu. Terlihat jelas jika di sofa, masih ada seorang duduk dengan posisinya yang sama tanpa berubah sedikitpun.

"Apa gue mimpi?". Gumam Ghyarra.

Ghyarra mencubit pipinya sendiri dengan pelan. Berusaha mencari tahu apakah ini masih di dalam mimpi atau sudah di dunia nyata.

"Aws". Ringis Ghyarra.

Ghyarra mengelus pipinya yang tadi ia cubit. "Berarti ini bukan mimpi dong". Gumam Ghyarra.

Ghyarra berjalan mengendap-endap menuju sofa, berusaha memastikan apakah sosok itu akan hilang saat ia dekati atau justru berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan.

"Lo ngapain Ghy?". Tanya seorang dengan suara berat tanpa menoleh ke arah Ghyarra.

Ghyarra menormalkan jalannya, lalu duduk di samping laki laki itu.

"Seharusnya gue yang tanya. Lo ngapain jam segini masih duduk di sini?". Tanya Ghyarra balik.

"Gue bingung, Ghy". Jawab Ghalen.

"Apa yang lo bingungin?".

"Gue enggak tau, harus milih Melody atau Alisha".

Ghyarra yang mendengar itu membenarkan posisi duduknya. Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan malam yang serius.

"Takdir enggak pernah kasih lo pilihan, lo juga tau itu. Takdir udah nunjukin siapa yang bakal sama lo, Ghal. Udah jelas kalo takdir udah milih Melody buat lo".

Ghalen hanya diam, takdir memang tak pernah megizinkannya untuk memilih. Takdir selalu memberikan luka baginya, walaupun terkadang luka dan bahagia itu datang secara bersamaan.

"Tapi, gue ragu, Ghy. Melody belum tentu sayang sama gue. Bisa aja 'kan Melody cuma mau nurutin kemauan Tante Zoya sama kemauan almarhum bunda".

"Lo ragu cuma karena hal yang enggak pasti kebenarannya".

"Gue tau, tapi lo tau sendiri gimana tertutupnya Melody".

"Melody emang tertutup sama kita, tapi bukan berarti kita enggak tau sifat dia, Ghal. Kita tumbuh dan besar bareng, seharusnya bukan hal yang sulit buat lo ngerti sama sifat Melody".

Ghalen kembali diam, tak tahu harus mengucapkan apa. Semua yang di ucapkan Ghyarra benar, Ghalen lebih mengenal Melody.

Ghalen sendiri pun tak mengerti apa yang membuat rasa ragu itu muncul, bahkan Ghalen ragu kepada Melody yang sudah ia kenal sejak bayi.

GhalendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang