Ghalen duduk di atas motornya, hampir setengah jam ia menunggu Melody. Parkiran sekolah sudah nampak semakin sepi, hanya tersisa beberapa motor dan mobil milik anggota OSIS yang tersisa.
"Elo harus tau Alisha itu cinta banget sama lo. Dia lebih sayang sama lo daripada dirinya sendiri tapi takdir jahat. Takdir enggak mau kalian terus bersama".
Sepenggal kalimat itu terus terngiang di telinga Ghalen, tak berhenti menganggu hati dan pikirannya yang kian gelisah.
Ghalen tak pernah mengerti takdir seperti apa yang Sasya maksud. Sasya selalu mengucapkan kalimat yang sama, tapi tak pernah menjelaskan maknanya.
"Sasya sama aja kayak Kenzo, suka ngasi teka-teki. Bikin gue puyeng aja". Batin Ghalen.
Semuanya masih terasa seperti mimpi. Hati Ghalen belum bisa menerima semuanya, seorang yang sangat Ghalen sayang tiba-tiba memutuskan untuk pergi tanpa alasan yang jelas. Siapa yang nggak akan kecewa? Saat orang yang di perjuangkan dengan berjuta effort tiba-tiba memutuskan pergi, tanpa alasan yang jelas. Lebih baik di tinggalkan karena di selingkuhi, daripada harus ditinggalkan tanpa alasan yang jelas.
Setiap orang yang Ghalen kenal selalu mengatakan hal yang sama, mereka selalu bilang jika Alisha itu sangat mencintai Ghalen. Lantas mengapa Alisha memilih pergi? Bukan 'kah jika ada masalah lebih baik jika di selesaikan, bukan memilih meninggalkan? Entah 'lah Ghalen sendiri bingung dengan semuanya.
Ghalen memejamkan matanya, menarik nafasnya pelan, lalu menghembuskannya pelan berharap semua yang menganggu hati dan pikirannya segera berlalu.
"Apa senja yang pernah jadi bahagia, bakal berubah jadi luka lagi, Sha?". Batin Ghalen.
Plak!.
Kanaya menggeplak kepala Ghalen membuat empunya kepala tersadar dari lamunannya.
"Jangan banyak ngelamun lo, ntar kesurupan". Tegur Sasya.
Ghalen meringis, lalu menatap Kanaya kesal. Ghalen bisa rasakan jika gadis itu sedang serius menasehatinya, walaupun Kanaya memasang wajah tengilnya untuk mengejek Ghalen.
"Sok nasehatin lo, cil. Pacaran aja belum pernah". Balas Ghalen.
"Di nasehatin bener-bener juga. Bukannya bilang makasih, malah ngajak gelud".
"Ngapain gue denger nasehat bocil?".
"Gue, udah bukan bocil ya".
"Bocil mana mau ngaku".
••••••••••••••••••••••••
Disebuah tempat pemakaman umum (TPU), nampak seorang gadis dengan seragam SMA Pelita Bangsa sedang duduk di samping sebuah makam. Ghyarra menatap sendu sebuah makam yang terlihat indah dan terawat, makam yang selalu Ghyarra kunjungi hampir setiap hari.
Ghyarra menghapus air matanya yang menetes begitu saja, rasa rindunya untuk sang bunda selalu membuatnya lemah.
Ghyarra meletakkan buket bunga mawar putih di samping batu nisan makam itu, lalu mengusap nisannya lembut. "Bunda apa kabar di sana? Bunda pasti seneng 'kan di atas sana? Kami di sini kangen banget sama, bunda. Ghya kangen banget sama bunda, pengen peluk, pengen makan masakan bunda lagi, pengen cerita sama bunda. Ghyarra kangen banget bunda". Ucap Ghyarra semakin terisak.
"Ghyarra sibuk banget, bund. Banyak lomba yang harus Ghyarra ikutin. Do'ain Ghya ya, bund. Semoga Ghyarra bisa dapat hasil yang terbaik nantinya". Adu Ghyarra.
"Ghyarra pamit, bund. Kasian Ghavin kalo kelamaan nunggu Ghya. Besok Ghya ke sini lagi kok, Ghya masih mau cerita banyak hal ke bunda, tapi sekarang waktunya belum tepat".
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghalendra
Fiksi Umum"Senja itu duka, ia selalu pergi sebelum bumi siap menyambut malam. Senja terburu-buru pergi meninggalkan bekas luka, dalam setiap indah jingganya" -Ghalendra Orryon Dhevankha