•••
Adinata sampai lupa dengan roti ditangannya ketika dia mendapat telepon dari Pak Edi. Pria berwatak keras itu kemudian meletakan roti yang telah dia habiskan separuh sebelum kemudian menggeser ikon hijau diteleponnya. "Ya, Pak?"
"Kenny keluar rumah. Dia kayaknya mau ketemu sama seseorang. Dari kemarin padahal nggak keluar rumah. Mungkin ini orang penting, Pak."
Adinata tanpa pikir panjang bergegas memakai jaket hitamnya. "Ikuti terus. Jangan sampe kehilangan jejak." Dia kemudian berlari mencari kunci mobilnya. "Kabari saya kalau dia udah nyampe. Kirim lokasinya, oke?"
"Baik, Pak!"
Lima belas menit berlalu, Adinata akhirnya dikirimi lokasi terkini dimana Kenny berada. Ternyata sebuah kafe. Dekat dengan sekolah Sean, Sofia, dan Kenny. Menurut keterangan Pak Edi, Kenny duduk berhadapan dengan seorang gadis seumurannya. Tampaknya mereka teman sekolah.
"Itu, Pak." Pak Edi bergegas menunjuk Kenny yang tengah berbincang serius dengan gadis asing.
"Gadis itu ada hubungannya dengan Sofia?" Entah kenapa, Adinata merasa familiar. Mungkin dia pernah bertemu atau bahkan melihat potret gadis itu sebelumnya.
"Menurut perkiraan kami, kalau nggak salah, gadis itu pernah foto bareng Sofia. Dan Sofia pajang foto itu di kamarnya bareng temen-temennya yang lain."
Untuk memperkuat dugaan mereka, Adinata berniat memastikannya sendiri besok. Dia pun mengangguk. "Nanti kita coba tanyain dia. Jangan biarin dia pergi dulu. Tapi, jangan sampe Kenny tau."
"Siap, Pak."
Setelah tiga puluh menit berlalu, akhirnya Kenny meninggalkan kafe. Diikuti gadis tadi. Adinata bergegas meminta salah satu timnya mengikuti Kenny. Sedangkan dia dan Pak Edi mencoba mencegah gadis itu pergi.
"Mbak! Mbak!" Adinata mengejar perempuan mungil yang kini bersiap mengenakan helmnya. "Permisi, kami dari kepolisian. Bisa minta waktunya sebentar?"
"A-ada apa, ya?" Gadis itu mundur selangkah. Dia merasa terancam dan takut.
"Nggak, kami cuma mau minta keterangan aja. Ini mengenai kasus kematian mendiang Sofia."
Setelah beberapa menit dibujuk, akhirnya gadis itu setuju. Namanya Cika. Dia mengaku sebagai teman sebangku Sofia.
"Jadi, apa yang tadi Mbak Cika bicarakan dengan Kenny? Maaf, kami nggak bermaksud lancang. Kalau obrolannya personal, Mbak bisa menolak menjawab, tapi kalau ada hubungannya dengan pembunuhan Sofia, tolong jawab jujur, Mbak," pinta Adinata.
Cika menyatukan kedua tangannya di depan meja. Dia sangat gugup. Padahal dirinya tak ada hubungannya dengan kasus itu, tapi mau tak mau dia harus bicara. "Tadi-tadi saya sama Kenny cuma ngobrolin masalah Sean. Kenny bilang dia nggak terima Sean bebas. Sebenarnya saya nggak deket-deket amat sama dia, tapi saya minta ketemu langsung buat nanyain kasus Sofia. Saya tanya ke Kenny siapa pelaku aslinya."
Adinata mengernyit. "Terus dia jawab apa?"
"Dia bilang Sean." Cika menggeleng. "Saya nggak tau itu bener apa nggak. Dia kayak kesel banget waktu Sean bebas."
Adinata dan Pak Edi saling berpandangan. Mereka seolah berkomunikasi melalui tatapan. Kecurigaan pada Kenny semakin membesar saat mendengar penjelasan Cika.
"Ta-tapi, kayaknya bukan Sean," lanjut Cika meski dirinya sedikit ragu. Dia merasa harus membantu polisi mengusut kasus ini.
"Kenapa?"
"Sean kan pacarnya Sofia. Dulu Sofia itu ngejar-ngejar Sean. Dia berusaha deketin Sean pake cara apapun. Tapi, waktu itu, yang suka sama Sofia bukan Sean, malah Kenny—which is temen deketnya Sean. Dia sempet bilang kalau Sofia harusnya pacaran sama dia aja. Saya nggak tau dia bercanda apa nggak, tapi yang jelas waktu Sean akhirnya pacaran sama Sofia, hubungan Kenny dan Sean makin renggang. Jadi, saya pikir Kenny memang betulan suka sama Sofia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falls Into Pieces
Short StoryLangga dan Jessica harusnya bercerai hari itu jika saja putra mereka tidak membuat masalah. ••• Pernikahan Jessica Liu Halim dan Airlangga Hianggio diambang perpecahan. Ego yang tinggi serta pertengkaran yang tak kunjung usai menjadi alasan mereka m...