14. a Red Herring

4K 158 0
                                    

•••

Jessica celingak-celinguk mencari suaminya. Di kamar tidak ada, di ruang kerja juga tidak ada. Padahal biasanya jika sudah memasuki jam 9 malam seperti ini, Langga hanya akan berada dikedua tempat itu saja. Dalam perjalanan menuruni tangga, Jessica berpapasan dengan Jenny. Muka putrinya kesal. Pasti dia habis berurusan dengan Sean.

"Kali ini kenapa?" Jessica tak perlu repot-repot bertanya siapa orang yang bertanggung jawab terhadap cemberutnya Jenny.

"Sean duluan!" Jenny berjalan ke kamarnya dengan langkah keras. Meninggalkan Jessica yang terheran-heran.

Dia pun akhirnya turun ke ruang keluarga. Ternyata di sanalah suaminya berada. Bersama dengan Sean yang juga tengah menikmati camilan. Jessica mendekat dan duduk di samping Langga.

"Kamu apain Adekmu, Bang?"

Sean bergeming. Jessica kemudian melirik suaminya. Alisnya terangkat untuk menanyakan apa yang terjadi.

"Sean ganti channel TV. Padahal tadi Jenny lagi nonton drama China."

Jessica menyandarkan diri ke sandaran sofa disertai helaan napas kesal. "Padahal Jenny bisa nonton di kamarnya. Kita kan udah kasih dia TV."

"Tau tuh. Dasar anak manja!" Sean berapi-api kalau orang tuanya mengungkit sikap kekanak-kanakan Jenny.

"Abang juga jangan gitu, dong." Meskipun tidak membenarkan perilaku Jenny, Jessica tidak suka mendengar Sean mengejek putrinya.

Sean hanya berdecak. Dia terus mengganti-ganti channel TV sampai berhenti pada satu acara berita yang menarik baginya. Itu adalah berita mengenai terbengkalainya kasus pembunuhan Sofia. Semua sontak terdiam.

Jessica dan Langga was-was. Kenapa juga Sean malah menikmati acara berita itu? Kenapa dia tak mengganti channelnya? Dibenak Jessica, sepertinya Sean sudah berdamai dengan kasusnya. Dia mungkin juga penasaran siapa pembunuh asli Sofia.

"Kasusnya viral, jadi pasti akan dicari terus pembunuhnya sampai ketemu," celetuk Langga.

Jessica mengangguk. "Kayaknya kasus ini sulit. Mereka harusnya bisa nangkap pembunuhnya sekarang. Ini udah berbulan-bulan semenjak kasus itu terjadi."

"Kamu bener," gumam Langga. "Pembunuhnya pasti cerdik. Kalau nggak ada bukti-bukti untuk menangkap pelaku, berarti kemungkinan pembunuhannya udah direncanakan."

Alis Jessica mengerut cemas. Dia melirik Sean yang masih diam sejak tadi. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Jessica pun berinisiatif bertanya. "Bang, kamu yakin nggak tau siapa pembunuhnya? Kalau tau, coba kasih tau Mama."

"Aku nggak tau," jawab Sean spontan dengan nada dan ekspresi yang datar. "Mungkin seseorang yang deket sama dia."

"Deket sama Sofia?" Jessica semakin bingung. "Tapi, siapa? Apa ada kemungkinan temen kamu pelakunya?"

Sean hanya mengangkat bahu dan berlalu. Meninggalkan kedua orang tuanya yang masih kebingungan. Apa sebenarnya maksud Sean?

"Aku ngerasa Sean tau sesuatu." Langga bangkit dari sandaran sofa. Dia meletakkan satu tangannya ke bawah dagu. "Gimana kalau pelakunya bener temennya Sean?"

"Tapi kenapa dia nggak mau ngomong? Harusnya dia bantuin polisi untuk nemuin pelaku, 'kan?"

"Kamu lupa? Sean aja ngaku sebagai pembunuhnya, padahal sebenarnya bukan." Langga kini menyatukan tangan. "Sean kayaknya nggak mau bantuin polisi."

"Terus apa pembunuhnya tau kalau Abang mungkin tau sesuatu? Gimana kalau dia mau nyakitin Abang? Astaga. Dia kan masih buron, Langga!" Tiba-tiba saja Jessica takut. Dia menyesal, kenapa baru kepikiran mengenai ini sekarang.

Falls Into Pieces Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang