•••
Adinata, sang detektif, tersenyum kecil melihat para rekan kerjanya memandangnya skeptis. Pernyataan yang dikeluarkan dari mulutnya sendiri itu memang mengejutkan banyak pihak. Tidak heran sekarang mereka meminta kejelasan.
"Gimana bisa Anda berpikir Sean bukan pelakunya, Pak?" Seorang polisi wanita bertanya.
"Saya sudah menduga ini dari lama, Bu Renita. Banyak hal misterius selama saya menyelidiki kasus pembunuhan ini. Makanya saya akan menjelaskannya sekarang," ujar Adinata seraya mengangkat dokumen rahasianya.
"Kecurigaan saya dimulai dari pernyataan tersangka. Awalnya tersangka ini mengelak pembunuhan itu, terus tiba-tiba saja dia mengakuinya." Adinata mencondongkan tubuhnya pada meja, memberikan gestur yakin. "Setelah saya liat pengakuannya di ruang interogasi, saya sadar kalau anak ini berkelakuan seperti orang yang sedang berbohong."
Dia lantas mengangkat sebuah kertas untuk ditunjukan pada Renita. "Dari buku psikologi, saya tau kalau orang yang berbohong itu sering menjilat bibirnya sama seperti Sean."
Renita memutar bola matanya. "Itu nggak langsung membuktikan kalau—"
"Saya tau, Bu." Adinata tersenyum penuh kemenangan. "Makanya untuk membuktikan keyakinan itu, saya memeriksa TKP pembunuhan. Di rumah itu, saya menemukan buku diary korban."
Renita mengambil buku kecil yang diserahkan Adinata padanya sebagai bukti. "Apa isinya?" tanyanya penasaran.
"Di sana tertulis, korban sudah lama suka sama tersangka. Jadi, korban ini mencoba mendekati Sean. Anak itu awalnya cuek, tapi lama-lama dia luluh juga. Singkatnya, mereka akhirnya berpacaran bulan lalu. Dan sampai waktu kejadian pembunuhan itu, mereka belum putus. Nggak ada tanda-tanda pertengkaran diantara mereka karena saya juga ngecek ponsel korban."
Renita kembali menerima bukti chat terakhir Sean dan Sofia. Wanita matang itu menganggukkan kepalanya. Dia mulai yakin dengan pernyataan Adinata.
"Kecurigaan saya makin terbukti. Gimana bisa Sean membunuh pacarnya sendiri saat mereka nggak ada masalah?"
Para polisi yang ikut rapat tersebut ramai-ramai membenarkan dalam hati. Adinata lalu melanjutkan. "Lagipula, kalau Sean ini benar membunuh, harusnya dia nggak duduk diam di TKP kejadian. Logikanya dia harus lari, 'kan?"
Detektif itu kembali tersenyum miring. "Alih-alih lari, dia malah menyerahkan diri. Ini bukan sikap seorang pembunuh. Saya ini udah menangani banyak kasus pembunuhan. Jarang ada pembunuh yang mengakui perbuatannya."
Renita membenarkan letak kacamatanya. Dia menatap Adinata tajam. "Jarang bukan berarti nggak pernah. Bisa saja Sean memang—"
Tawa Adinata membuat Renita terbungkam. Sebenarnya polwan itu tidak menyukai perangai Adinata yang arogan seperti saat ini. "Kenapa ketawa, Pak?"
"Lucu saja. Kalau dia memang ingin langsung menyerahkan diri, harusnya ketika ditanya pertama kali, Sean akan langsung mengaku. Tapi, kenyataanya saat ditemukan di TKP, dia mengelak."
Adinata bersandar santai di sandaran kursinya. Tangannya dilipat didepan dada. "Saya sebenarnya nggak mau menyelidiki lebih dalam, tapi rasanya jadi kurang lengkap kalau ini nggak dilakukan. Saya perhatikan, Sean ini mengaku sebagai pembunuh setelah bicara face to face dengan orang tuanya. Ini bikin saya penasaran. Alhasil, saya kulik sedikit tentang latar belakang keluarga mereka. Dan saya nemu fakta baru."
Adinata meneruskan, "Bu Jessica ini sudah tiga bulan tinggal di apartment di kawasan Sari Indah. Sementara Pak Langga masih stay di kediaman keluarga Hianggio. Jadi, saya menyimpulkan kalau hubungan mereka sedang nggak harmonis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falls Into Pieces
Cerita PendekLangga dan Jessica harusnya bercerai hari itu jika saja putra mereka tidak membuat masalah. ••• Pernikahan Jessica Liu Halim dan Airlangga Hianggio diambang perpecahan. Ego yang tinggi serta pertengkaran yang tak kunjung usai menjadi alasan mereka m...