15. a Bolt From the Blue

3.7K 192 2
                                    

•••

Jessica tidak bisa untuk tidak memikirkan perkataan Friska hingga dia sampai ke rumah. Tingkah laku Sean yang berbanding terbalik selayaknya orang yang baru mengalami hal yang mengejutkan membuat Jessica mencium adanya kejanggalan. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Sean. Apakah putranya memang baik-baik saja? Atau justru Sean menyembunyikan sesuatu darinya?

"Papa sama Sean belum pulang, Ma?" tanya Jenny seraya duduk di meja makan. Gadis itu berniat untuk istirahat sejenak sambil menyantap camilan. "Kok lama?"

Jessica tersadar dari lamunannya. "Nanti Mama tanyain ke Papa kamu. Istirahat dulu ke kamar sana."

"Iya, habis aku makan cookies-nya Bi Lula."

Lantas Jessica pelan-pelan menuju lantai dua. Niatnya ingin berbaring di kamarnya guna menghilangkan pikiran-pikiran buruk perihal Sean. Namun, ketika melihat pintu kamar Sean, Jessica mengurungkan niatnya. Wanita itu berjalan menuju kamar sang putra yang tidak terkunci.

Awalnya Jessica ragu. Tetapi dia berpikir, ini sebuah kesempatan. Sean tidak ada di rumah, artinya Jessica bisa leluasa masuk ke kamar Sean. Jessica harap, dia menemukan sesuatu yang akan membuang segala asumsi buruknya.

Dalam kamar Sean tidak ada yang mencurigakan. Anak itu tergolong rapi dan bersih. Kaset-kaset film kesukaannya juga tertata amat rapi. Jessica tidak menaruh curiga. Sampai akhirnya dia mencoba membuka laci meja Sean.

Mata Jessica membulat, tangannya gemetar mengambil beberapa botol obat berwarna putih. Sayangnya, Jessica tidak tahu apa kegunaan obat tersebut. Jadi dia berasumsi bahwa obat tersebut adalah obat untuk menghilangkan depresi Sean.

Mungkin Sean sebenarnya mengalami depresi. Mungkin lelaki itu enggan memberitahu keluarganya dan memilih menyimpan derita sendiri. Serta mungkin saja kondisi Sean sudah sangat buruk hingga dia mengkonsumsi obat-obatan. Mata Jessica berair, tenggorokannya sangat sakit. Dia ingin menangis sekarang juga.

Baru saja akan mengambil gambar obat tersebut, Sean tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. Lelaki itu mengambil obatnya dari tangan sang ibu. Wajahnya datar, tapi Jessica tahu putranya sedang menahan amarah.

"Bang." Jessica mencengkram pundak Sean amat erat. "Bang, itu obat apa? Kamu sakit? Kamu kenapa? Kok kamu nggak bilang Mama sama Papa?"

"Aku nggak suka ada orang yang masuk kamar aku tanpa izin." Lelaki itu memasukan obat yang Jessica maksud ke dalam saku. "Termasuk Mama."

"Tapi... tapi Mama cuma mau tau kamu kenapa. Kamu sakit kan, Bang? Cerita sama Mama," sentak Jessica agak tinggi. "Kamu—"

Sean berdecak. "Ma! Mending Mama keluar sekarang. Aku lagi nggak mau diganggu."

Tentu saja Jessica tidak melakukannya. Dia menggiring Sean untuk duduk di ranjang. Jessica akan bicara dengan Sean secara perlahan. "Hey, Mama nggak akan menghakimi kamu. Cerita pelan-pelan sama Mama, ya. Kamu... Kamu depresi? Apa yang kamu rasain?"

"Kenapa sih Mama selalu kayak gini? Aku nggak kenapa-napa. Aku sehat. Aku nggak ngelakuin kesalahan. Jangan berlebihan lah, Ma. Aku nggak suka."

Jessica berusaha memahami perasaan Sean, sungguh. Tetapi sebagai seorang ibu, Jessica hanya ingin dilibatkan pada setiap masalah yang menimpa Sean. Dia ingin bersama putranya kala Sean mengalami masalah. She wants to provide a solution to her son's problem.

"Mama kan mau—"

Sean menyela lagi. "Mama tenang aja, nggak ada masalah kok. Semuanya baik-baik aja."

Kalau sudah begini, Jessica tidak bisa memaksa Sean. Dia akan bicara dengan Langga perihal masalah ini. Wanita itu tidak akan memaksa anaknya untuk sekarang. Namun demikian, Jessica akan lebih mengawasi Sean setelah ini.

Falls Into Pieces Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang