Prolog

838 82 4
                                    

Perempuan maupun submisif itu racun. Mereka berdua itu jahat. Mungkin mereka tampak cantik, manis dan lembut di luar, tetapi siapa yang tahu betapa kejinya jiwa yang tertanam di sana.

Itulah yang tertanam di benaknya, di hari itu, hari yang dingin dan berkabut, ketika ibunya membangunkannya di dini hari. Waktu itu dia masih menghabiskan malam-malamnya dengan menangis, menangis karena sudah hampir dua minggu dia dipisahkan dari adik kesayangannya serta dari ayahnya yang lembut dan baik hati.

Sekarang dia terpaksa tinggal bersama ibunya, yang membawanya pergi begitu saja dari rumah dan kemudian tinggal di rumah teman laki-lakinya.

Meskipun dia masih kecil, tetapi dia bisa membaca kalau pria itu bukan hanya sekedar teman bagi ibunya. Ibunya memeluk pria kaya itu dengan mesra, membiarkannya mencium pipinya di depan umum. Dan ibunya tidur di kamar pria itu, sementara dia ditempatkan di sebuah kamar yang dingin dan sepi, sendirian.

Dia masih kecil. Tapi dia sudah tahu pasti kalau ibunya tidak mencintainya. Perempuan itu merenggutnya dan membawanya, bukan karena menginginkannya tetapi lebih karena ingin menyakiti ayahnya. Dengan tega ibunya memisahkan dia dari orang-orang yang disayanginya.

Dia benci ibunya, benci sekali!

Masih dini hari ketika ibunya membangunkannya, jemarinya yang lentik dengan pewarna kuku merah menyala, menyentuh pundak kecilnya, mengguncangnya terburu-buru.

"Bangun, bangun, kau harus segera bangun, ibu akan mengantarmu."

Dia terbangun, mengucek matanya bingung,

"Kita mau kemana ibu?" suaranya yang mungil dan lemah masih serak, matanya susah dibuka karena sembab, menangis semalaman.

"Ibu akan mengantarmu. Kau tahu, ibu ada pekerjaan di luar negeri dan ibu tidak bisa membawamu, jadi ibu akan menitipkanmu sementara di rumah teman ibu."

Dia langsung duduk, masih kebingungan, dan hanya menurut ketika ibunya mengantarkannya ke kamar mandi, menyuruhnya mencuci muka. Ketika dia keluar dari kamar mandi, ibunya sudah mengatur pakaiannya ke tas ransel kecilnya yang selalu dibawanya kemana-mana.

"Bawa biolamu sendiri, ayo kita berangkat." Ibunya membawa tas ranselnya keluar, sementara dia terburu-buru mengikuti, sambil meraih tas berisi biola berat dan besar berwarna merah gelap. Biola ini milik ayahnya, seorang pemain biola terkenal yang karena suatu hal, tidak bisa bermain biola lagi. Itulah yang menjadi penyebab perpisahan ayah dan ibunya, yang menyebabkan ibunya meninggalkan ayahnya dan keluarga mereka tercerai berai.

Tetapi bagaimanapun juga, biola itu adalah hartanya yang paling berharga. Milik ayahnya, ayahnya yang baik dengan jemarinya yang besar yang selalu mengusap kepala kecilnya, ayahnya yang dengan senyum lembutnya selalu memeluknya dengan sayang, menaikkan dirinya kepangkuannya setelah sesi-sesi berlatih biola bersama yang menyenangkan. Seandainya dia bisa memilih, dia ingin bersama ayahnya. Dia tahu ayahnya punya cinta yang tulus, dia tahu ayahnya benar-benar menginginkannya.

Sayangnya, dia hanyalah anak kecil yang harus tunduk kepada keputusan orang-orang yang lebih tua, karena dia masih tidak punya daya apa-apa.

Dia memeluk biola itu erat-erat dan kemudian mengikuti ibunya yang sudah melangkah keluar rumah, di sana sebuah mobil sudah menunggu, Ibunya masuk lebih dulu ke dalam mobil, dan dia tak punya pilihan lain selain mengikuti ibunya masuk ke dalam mobil.

Mobil itupun melaju membelah jalan, dan mereka melewatkannya dalam keheningan. Ibunya terdiam menatap lurus ke depan, sementara dia duduk di ujung terjauh di kursi, menatap kosong ke arah jendela, dan bertanya-tanya dimanakah ayah dan adiknya sekarang? Apakah mereka baik-baik saja? Apakah dia bisa menemui mereka lagi?

♥️♥️♥️

Mobil itu memasuki pintu gerbang putih di sebuah rumah yang sangat indah. Ibunya turun lebih dahulu dan membiarkan dia mengikutinya. Pintu rumah terbuka, dan sepasang suami isteri setengah baya membuka pintu. Sepertinya mereka adalah salah satu teman ibunya, karena mereka langsung tersenyum ketika melihat ibunya.

Dia dan ibunya lalu dipersilahkan masuk, dan duduk di ruang tamu yang sangat megah. Suami isteri itu menatapnya dengan lembut, dan si isteri mendekatinya dan mengenalkan diri,

"Kenalkan, aku Tiffany.... kau bisa memanggilku mama Tiffany, semoga kau kerasan di sini ya nak." Jemari mungilnya yang begitu lembut mengelus kepalanya, membuatnya teringat kepada ayahnya. Seketika itu juga dia tahu, bahwa perempuan setengah baya di depannya ini baik  hati dan tulus. Dia akan diperlakukan dengan baik ketika tinggal di sini - sampai ibunya menjemputnya lagi.

Lalu dia disuruh ke ruangan lain sementara para orang dewasa bercakap-cakap, seorang pelayan yang baik hati membawanya ke ruang bermain di sebelah ruang tamu, di sana ada banyak sekali mainan yang sepertinya masih baru, beberapa bahkan masih terbungkus plastik. Pelayan itu sudah menyiapkan segelas susu putih hangat dan sepiring kue cokelat yang menggiurkan, dan dengan sayang menyuruhnya bermain sesukanya.

Tetapi tentu saja dia tidak berani. Mainan-mainan itu tampaknya masih baru, dan tentunya ada yang punya bukan? Mungkin saja pemiliknya adalah anak dari pasangan suami isteri setengah baya yang baik hati itu. Dia takut merusakkan mainan itu dan dimarahi.

Dia duduk dikursi kecil yang disediakan, dan meminum susunya dengan haus, ternyata dia lapar. Semalam dia tidak bisa menelan makanannya karena menahan rasa ingin menangis akibat kerinduannya pada ayah dan adiknya, sekarang perutnya menagih minta makan. Dia juga memakan sepotong kue manis yang sangat enak itu.

Setelah menghabiskan satu potong kue dan meneguk sisa susu hangatnya, tiba-tiba dia mendengar deru mobil melaju meninggalkan rumah itu.

Apakah itu mobil ibunya? Apakah ibunya telah pergi? Kenapa ibunya tidak berpamitan kepadanya?

Dia langsung berlari keluar, dan menubruk Tiffany, perempuan setengah baya yang meminta dipanggil mama. Tiffany setengah berlutut, lalu memeluknya dengan mata berkaca-kaca entah kenapa, perempuan itu lalu mengusap rambutnya dengan sayang,

"Ibumu sudah pergi dia begitu terburu-buru dan tidak sempat berpamitan, tidak apa-apa ya nak, mulai sekarang kau tinggal di sini ya. kami semua akan merawatmu dengan baik, kau jangan sedih." Tiffany kemudian menggandeng tangan mungilnya dengan lembut, "Kemari sayang, biar kutunjukkan kamarmu." Sebelum pergi, mata Tiffany melirik ke arah mainan-mainan di ruang bermain itu yang tidak disentuh olehnya dan tersenyum lembut, "Jangan takut memainkan semuanya, semua itu baru dan dibeli khusus untukmu, semua itu milikmu."

Dia lalu di antar ke sebuah kamar yang begitu indah. Kamar khusus anak-anak, yang sepertinya baru dicat dan di dekor ulang. Dindingnya biru dengan pola pesawat yang indah, tempat tidurnya juga bersprei biru muda, berbagai mainan juga ada di sana, seolah-olah menjaga agar dia tidak kesepian.

"Istirahatlah di sini dulu sayang, nanti kalau sarapan sudah siap, mama akan memanggilmu." Tiffany menyebut dirinya sendiri sebagai mama, berbisik lembut dan membantunya naik ke ranjang,  dia memang masih mengantuk akibat terlalu dini dibangunkan oleh ibunya tadi.

Tiffany menyelimutinya dengan selimut tebal, kemudian mengecup dahinya lembut sebelum pergi. Setelah Tiffany keluar dan menutup pintu di belakangnya, dia merasakan ada yang basah di dahinya.

Air mata? Kenapa Tiffany menangis?

Karena penasaran, dia bangun lagi dan turun dari ranjang, mencoba mengintip keluar. Di sana dilihatnya Tiffany menangis sesenggukan di pelukan suaminya.

"Sudahlah sayang, jangan terbawa perasaanmu, nanti anak itu melihatnya dan kebingungan." suaminya, lelaki setengah baya yang berwajah lembut tampak menghibur Tiffany.

"Tapi aku sedih sekali tiap melihatnya, anak sebaik dan setampan itu, dibuang begitu saja oleh ibunya hanya demi segepok uang untuk membiayai kehidupan berfoya-foyanya di luar negeri. Dia sungguh ibu yang jahat." Tiffany mengusap air matanya, tampak begitu sedih.

"Tapi kau sekarang yang menjadi ibunya, sayang. Ibu kandungnya sudah menyerahkan anak itu, dan dia sama sekali tidak berniat kembali. Anak itu memang anak yang malang, tetapi dengan kasih sayang kita, dia akan baik-baik saja. Kita akan menyayanginya, dan membuatnya melupakan ibunya."

Dia yang masih mengintip di ujung pintu kamarnya terpaku, membeku mendengar percakapan itu. Dia memang masih kecil, tetapi sedikit banyak dia mengerti.

Ibunya telah meninggalkannya di sini, bukan menitipkannya untuk menjemputnya dikemudian hari, tetapi menjualnya. Ya ibunya telah membuangnya, menjualnya untuk segepok uang.

Air matanya meleleh, dan dia berlari naik ke ranjang, menangis sesenggukan sampai matanya perih, Dia ingin bersama ayahnya, dia ingin bersama adiknya.

Kalau memang ibunya mau membuangnya, kenapa dia tidak ditinggalkan saja bersama ayah dan adiknya?

Ibunya memang jahat. Ibunya tidak punya hati, menyakiti ayahnya, menyakiti adiknya, menyakiti dirinya. Mungkin semua submisif maupun perempuan berjiwa jahat seperti ibunya.

Semua perempuan dan submisif memang jahat!

Dan lama kelamaan, karena terlalu lelah menangis, dia tertidur, tubuh kecilnya tengkurap di atas ranjang itu, dengan pipi penuh bekas air mata.

Sampai kemudian sebuah jemari lembut membelai rambutnya, dan membuainya ke dalam pelukan. Dia terbangun, dan menyadari tubuh mungilnya ada di pelukan Tiffany.

"Tidurlah dengan tenang sayang, kau aman di sini bersama kami. Aku menyayangimu anakku." lalu Tiffany bersenandung lagu nina bobo.

Dia memejamkan lagi, mata merasa tenang, sebelum terlelap jauh, dia berpikir bahwa mungkin Tiffany termasuk seorang ibu yang tidak jahat. Dia merasa bisa mempercayainya. Mulai sekarang, Tiffany adalah mamanya. Dia akan melupakan ibu kandungnya, seorang manusia  jahat yang membuangnya tanpa hati.

Tetapi ternyata cinta Tiffany tetap tidak bisa menyembuhkan kepedihannya, sampai dewasa, dia masih menyimpan luka itu....

Luka yang menciptakan kebencian mendalam kepada mahluk yang bernama 'perempuan' dan 'submisif'.

Echoes of Life [ Nohyuck ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang