SU.22 Buron Andalan

680 92 3
                                    























































































































Besok paginya, Film merasa ada sapuan di kepalanya. Terjadi berulang-ulang, pelan dan beritme. Mata payah yang terpaksa habis bergadang sama nangis itu terbuka perlahan. Di saat itulah Film menyadari, dia semalaman mepet terlalu rapat sama Namtan, guling di tengah entah pergi ke mana, sama sekali nggak sadar kini tidur di bahu dekat leher tunangannya, tenggelam nyaman di sana.

Sebenarnya Namtan yang mempermudah wajah kelelahan itu berpindah nyaman. Lalu entah ini bodoh, atau apa jenisnya, Namtan segan beri tangan bengkaknya jadi bantal kepala Film. Dia cuma tidur 2 jam, sisanya meringis nggak bisa tidur, badan total ngilu-ngilu di hantam banyak benda tumpul.

"Hai cantik!"

Suara Namtan itu niatnya menggoda, Film malu tapi tangannya tangkup wajah Namtan, tersenyum mengejek dia. "Hai aktivis babak belur!" Cuma tetap pakai suara teduh, Namtan sukses tertawa.

"Gue senyaman itu, ya? Sampe lo peluk erat terus."

Bola mata bulat Film bermain lucu, dia berpikir lama. Ingatkan mereka berdua soal bagaimana posisi masih terlalu intim. Film masih di pelukan Namtan, dia berada lekat di badan seksi hampir telanjang atas itu seandainya nggak ada dalaman dan perban yang hampir memutar sebadan-badan. "Lo hampir demam, jadi kedinginan, yaudah gue peluk."

"Nggak lo cium-cium, 'kan?"

"Idih, malas!"

"Kalo gue ulang tahun, gue minta dicium sama lo deh,"

Film geli, terus nggak sengaja pukul bahu Namtan. Si Tipnaree mengaduh kesakitan sementara Film tertawa sedih. Baru sadar manusia itu lagi rapuh.

"Ehem!" Film nggak tahu hal lain paling genting di sana, di kamarnya. Sosok Pansa Vosbein menyilang tangan depan dada, pasang muka terganggu dominan kesal tepat di depan ranjang. "Bisa nggak, nggak usah pacaran depan, gue?"

Film kaget, refleks sekali tarik selimut sampe sisain dua bola matanya, malu banget, serius! Apalagi di depan sosok yang Film pertahankan image gengsi tingginya. "Kok lo bisa ada di sini, Pansa?!"

Pansa putar matanya, mendukung kondisi muka tukang menghakimi itu untuk julid. "Bisa, karena lo kenyamanan tidur di pelukan Namtan, dan kita harus nunggu lo bangun."

"Mama sama Papa, gimana?!" Jantung Racha, begitu panggilan sayangnya, memacu terlalu cepat. Kiamat dunia semisal Mama lihat anaknya udah ditemenin tidur semalaman. Atau Papa, nggak akan mikir dua kali hajar Namtan semisal ketahuan.

"Pagi-pagi sekali udah keluar." Pansa buat Film bernapas lega. "Katanya mumpung libur, jadi mau ikut panen besar di kebun rumah keluarga Rachanun yang ada di sebuah desa. Gue nunggu lo satu jam di ruang tamu, dengan alasan, nggak masalah tante, nggak usah dibangunin, nanti Film bisa bangun sendiri dan ke bawah nemuin Pansa."

Namtan ngangguk, Film bisa lihat tatapan sayu itu tulus dan lembut dari jarak sedekat hasta. "Pansa akhirnya terpaksa naik tangga dan lewat jendela kamar gara-gara pintu kamar lo di kunci. Jadi, dia ke sini jemput gue buat pulang. Gue balik, ya?" Surai gelap Film disapu Namtan, "Makasih udah rawat gue, revisinya di cancel dulu."

Kayaknya Namtan serius bilang Pansa itu saudara sekaligus sahabat satu-satunya di antara saudara sedarahnya yang lain. Karena bagaimana Pansa Vosbein bisa kepikiran lewat jendela kamar lantai dua? Film ngangguk aja, terus noleh ke arah Pansa, "Tapi udah aman 'kan Pansa?"

Semester UsangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang