"Papa betul-betul mikir nggak sih soal perjodohan ini?" Yang pasti Film kepalang kesal lihat si tua banyak aturan semaunya itu pura-pura nggak peduli sama semua protes yang dia layangkan, sambil buka dan pindah senang file berisi banyak bentuk saham dan perjanjian menguntungkan.
Apalagi kalau bukan jaminan perjodohan, ya nggak sekentara itu sebutannya, tapi bahkan di setiap galaksi tahu perjodohan selalu punya harga. Berengsek sekali dunia. Selalu tentang perkara sama. Finansial, finansial, dan finansial.
"Tentu Racha! Papa jelas mikir soal kamu, soal firma hukum kita yang kamu pegang, tanpa ini semua, firma terancam tutup." Papa senyum cerah, nggak acuh sama muka kesal Film yang lihat dia makin gencar baca file dari perusahaan korporasi lumayan besar dari calon besan. "Kamu tahu keluarga Tipnaree dan kemasyuran mereka di kalangan usahawan. Bahkan seluruh Jakarta mungkin kenal keluarga darah biru ini."
Demi apapun Film benci. Rasanya mau nangis. Peduli setan keluarga Tipnaree.
"Film berulang kali bilang sama Papa, soal firma Film selalu usahain. Banyak penawaran kasus buat Film dan tim, Papa nggak percaya kami apa gimana? Bukannya keuntungan setidaknya nyelamatin firma kalo semisal semua ini cuma demi pertahanin firma?" Muka respons Papa sedap banget buat ditonjok, remeh-temeh sekali gayanya. Film tarik napas berusaha tenang. "Belum lagi dengan kualitas calon anak keluarga darah biru yang Papa bilang, sama sekali nggak nunjukin sisi elite. Ngapain di kampus hampir 7 tahun? Kita berbanding terbalik Pah!"
"Besar kepala sekali Papa lihat kamu Film," Papa geleng kepala, senyum diwajahnya memang bikin kesal. Seperti meledek. "Papa sudah kalkulasi kasus yang ditawarkan klien ke kamu dan tim. Melihat pengalaman karir kalah kasus kamu yang hampir telak, Papa nggak yakin firma bisa tetap berdiri." File sekitar 20 lembar diangkat Papa, "Dengan ini," Papa kasih kode tunjuk pake alis, "-firma kita umur panjang, ditambah promosi mumpuni dari perusahaan besar mereka, belum lagi pemberian saham 14% cuma-cuma di cabang perusahaan mereka. Dari semua itu kamu pikir Papa asal dengan perjodohan ini?"
"Papa mau hancurin hidup Film dengan berandal darah biru?"
"Kamu anak hukum seharusnya paham di setiap kejadian ada kronologis. Mungkin Namtan punya alasan kenapa dia begitu. Papa yakin dengan sikap dewasa kamu dan kualitas yang kamu bicarakan di awal itu akan buat dia lebih baik."
Film tertawa, sarkas dan sakit hati. "Omong kosong!"
"Ini bukan forum sidang kalo kamu mau banyak bantah. Papa tetap pada pendirian Papa. Keluarga mereka akan ke rumah, besok."
Ya, sikap Papa remeh begitu dia tetap pada omongannya. Besok harinya keluarga besar Tipnaree betul-betul muncul batang hidungnya. Menapak halaman mini rumah kotak bergaya nyaman sedikit mewah milik keluarga Rachanun, keluarga-nya Film Rachanun.
Dari jendela di lantai dua, Film mengintip dibalik gorden krem tipis. Ramai di bawah sana. Para darah biru itu memenuhi halaman depan rumah. Oh, Film juga baru sadar dengan mobil ternama berderet-deret parkir di samping jalan. Membicarakan orang kaya sudah seperti mendongeng, terlalu melimpah, terlalu indah, kesannya terlalu memuji, tapi memang begitu. Film bisa melihat bagaimana mereka berpakaian rapi dan bagus. Senyum basa-basi ala-ala hartawan. Obrolan tipis mertabat. Dan tertawa bau uang. Rasa-rasanya mereka akan selalu jauh dari kata melarat.
"Film," Mama tiba di ambang pintu. Tersenyum pahit tatap anaknya berdandan rapi, karena soal perjodohan, Mama sepihak Film. Masalahnya, Mama nggak punya kuasa lebih buat lawan Papa. "Ayo turun, mereka sudah di bawah."
Pas turun, si Namtan-Namtan ini, manusia yang dimaksudkan menjadi jodoh Film Rachanun katanya nggak bisa hadir. Nggak ada alasan spesifik dari orang-tuanya. Muka nggak enak dan rasa bersalah tercetak jelas di wajah mulus Mama calon mertua. "Maafin kami ya Nak, tiba-tiba Namtan telepon saat kita di jalan, ada sesuatu genting di kampusnya, tadinya anak itu mau nyusul untuk bertemu keluarga nak Film."
Paling lagi ngumpul bareng tetuah kampus dan jajaran mahasiswa semester tua lainnya, terus susun strategi demo?
Film ingat Papa sempat singgung Namtan aktif sebagai aktivis?
Serius nambah pening kepala kalo di ingat-ingat.
Film lirik Papa. Papa lirik juga. Senyum nggak enak bisanya dia. Tapi nggak kapok, buktinya kekeuh. "Oh, nggak apa-apa itu Ibu. Ini masih pertemuan biasa, mungkin Nak Namtan bisa menyusul lain kali." Sok asik banget si Papa. Padahal Film tahu Papa cukup terganggu dengan situasi dan kelakuan Namtan di hari seharusnya anak itu kasih tunjuk pesona pertama biar Film setidaknya nggak elus dada.
Udah bukan elus dada, tapi seisi kepala dibuat pening. Film kepikiran rumah tangganya bakal kayak apa ke depannya, apalagi modelan Namtan ini.
Ya setidaknya Film nggak dibikin ribut kepala bahas pernikahan. Karena untungnya keluarga hartawan incaran Papa demi menyelamatkan usahanya ini malah banyak membahas tentang Film, bahkan nggak segan puja-puji Film di segala prestasi raihan masa mudanya. Namtan kena skip.
Padahal, jujur aja, Film sedikit kepo soal Namtan. Karena demi apapun, Papa kelihatan sama sekali nggak ada niat menguburkan impiannya, dan Film nggak ada pengharapan lebih perjodohan ini dibatalkan. Malah beliau itu gencar membahas usaha dan seputar ekonomi sama Papa Namtan.
Nggak terkira pokoknya pertemuan perdana. Menguras tenaga dan emosi. Betul aja, pas keluarga Tipnaree balik, Papa langsung koar-koar lumayan kesal membahas gimana Namtan nggak etis dengan acara pertemuan ini. Cuma sayangnya Papa kebangetan, telepon Namtan dan tanpa basa-basi tanya di mana.
"Besok Film akan pergi ke kantor firma, mungkin Nak Namtan bisa sekalian jemput karena searah kampus juga 'kan? Sekalian perkenalan pertama kalian."
Film muak dengar Papa. Pergi, cabut dari sana, lari ke kamar, kunciin diri dan nangis lagi. Sedih banget, sampai Film bawa tidur. Besok Paginya Papa sudah tiba ketuk-ketuk pintu. Panggil-panggil Film dari luar, bersama nada rendah dan halus.
"Film belum mau sarapan Pah," ya pikir Film, ini adalah panggilan pagi pada umumnya.
"Bukan," Papa dari luar, terdengar semringah, "Kamu siap-siap. Namtan sedang menunggu di bawah."
Bagai geledek atas kepala, Film kaget setengah mati.
Dia baru ingat soal telepon kemarin.
Alamak, celaka!
"Cepat ya Film!"
Butuh satu jam lebih kayaknya buat Film siap, karena sempat nangis dulu, mandi, nangis lagi, ganti baju, nangis ulang, dandan, nangis terus. Papa sampe keder sendiri ngingetin Film nggak kelar-kelar.
Pas turun, Film bisa lihat ada manusia tinggi berkulit putih bersih, duduk santun, lumayan rapi tapi tetap bentukan mahasiswa pada umumnya. Pakai kaus putih dalaman yang dibungkus kemeja kotak-kotak serta bawahan celana bahan.
Ya setidaknya Film bisa lihat muka Namtan-Namtan ini mirip Mama Papanya yang di mix. Alias, cukup cakep, eh cakep aslinya sih. Sempat lihat foto dari Papa pas pake almamater kampus, roman-roman baru kelar demo, jadi modelannya kayak bau matahari.
Si Namtan berdiri, sambut Film pake senyum tampak gigi.
Papa decak. "Lama banget kamu Film, kasihan ketinggalan kelas si Namtan."
Lah semester akhir masih ada kelas? Nggak! Bukan! Ada mahasiswa yang nyicil mata kuliah kok, cuma seingat Film sesuai informasi Papa, Namtan ini mahasiswa semester 13 yang di mana semester itu orang-orang pada sibuk skripsian, itupun telat banget. Ngaco bener jodohnya.
"Nggak masalah Pak."
Jerengan gigi Namtan yang manis tetap aja nggak bisa buat Film merasa nggak ilfeel.
"Sori soal kemarin nggak bisa ikut datang bareng keluarga," Namtan senyum terus, "Saya sudah janji sama Mama dan Papa untuk balas dengan ajak kamu jalan-jalan." Namtan noleh ke arah Papa, "Namtan minta izin sama Om ajak Film nanti setelah pulang kerja."
"Film nggak sibuk kok. Hari ini bisa kamu ajak seharian."
Itu Papa yang ngomong. Bikin Film lirik kesal dan kecewa bersamaan.
TBC...
Nggak bisa nggak gemes lihat NamtanFilm 😭 jadi iseng nulis mereka, enjoy yaa
FiraMokoagow_ here ☝🏻😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Semester Usang
Fiksi PenggemarMahasiswa karet, pengacara acap kalah, dijodohin.