Namtan menghilang lagi. Secara misterius seperti kebiasaan manusia itu karena terlalu banyak dibayang-bayangi musuh. Padahal dia bertemu Kapook petang itu. Film dengar samar-samar mereka bicara. Intens dan penuh emosi. Saling bertatap muka setelah kata Namtan mereka terputus kontak sepihak dan Kapook raib tanpa berita. Bahkan tangisan pelan Kapook di telaga buat Film nggak tahan dan akhirnya berpaling, masuk ke dalam rumah Bibi. Cemburu harus Film akui. Pembicaraan mereka seolah ada rasa, dan dominasi sesal. Setelahnya, Namtan pergi entah ke mana.
Film terlalu resah. Mengakui gelisah memenuhi isi dadanya meski Pansa Vosbein bilang bahwa perginya Namtan terlalu tiba-tiba itu karena dia melihat musuh dan Namtan sekali lagi hanya berusaha kabur.
Rasa khawatir ini semakin berlebihan. Mengganggu Film buat jalani beberapa hari ini tanpa sama sekali kabar dari Namtan.
Sesak dan rasanya nggak enak.
Film kepikiran.
Manusia Tipnaree itu luar-biasa kepala batu. Teledor bukan main. Kalo selama pengejaran, teror, dan hal-hal mengerikan yang nggak mau Film pikirkan bisa menimpa Namtan- dia pasti nggak pikir kesehatan apalagi keselamatan.
Film menggigit bibir. Masih takut pikirannya sendiri. Nggak bisa. Dada semakin sesak. Momen Namtan terluka dipelukan Film malam itu aja belum pergi betul dari kepala. Membayangkan Namtan bersimbah darah- di pelipis, disakiti perutnya, dihantam badannya, Film rasa-rasanya mau nangis. Cerita-cerita mengerikan mahasiswa dan aparat oknum keparat menghantui jalan pikirannya tentang Namtan.
Kalo Namtan meninggal?
"Nggak mau...." Film meracau. Peluk sisa mawar yang kelopaknya sudah kering, suratnya masih menempel pada mawar yang belum ada rencananya Film baca, rencana begitu, tapi mungkin malam ini Film terlalu kangen manusia Tipnaree, mawar pemberian Namtan barangkali adalah solusi. "Lo harus tepatin janji, Namtan.." Entah janji yang mana, Film cuma mau pemberi mawar wangi itu pulang ke hadapannya. Ke dalam tangan yang pengin peluk Namtan erat-erat.
Walau ternyata, Film tetap menangis di hari ke empat tanpa menerima kabar apapun dari Namtan, tanpa dengar gombalan recehnya, suara meledek itu, tepat pada malam pukul 1 dini hari, di kamarnya, di lampu mode biru temaram.
Perlahan, 10 mawar di nomor selanjutnya Film pisahkan sendiri. Matanya kabur terlalu penuh air sedih tetap dia paksakan melihat, berdiri menuju lampu, mengganti warna putih terang. Mungkin, membaca surat Namtan bisa mengobati ketakutan Film, atau justru memperburuk, Film udah rela, karena memang cuma bisa nangis dan mengemis doa, minta Namtan balik ke dia, dengan aman tanpa kurang satu apapun.
Pena tinta hitam tertulis tegak bersambung di sana, di surat 49.
"Nggak ada seseorang pun yang bisa pisahkan gue sama lo, selagi lo mau pertahanin gue, dan gue akan selalu perjuangin lo. Percaya deh, Perth itu bukan saingan, tapi gue cemburu nama dia selalu kedengeran dari bibir lo."
Nyatanya suara Namtan seperti terdengar disetiap pelafalan kata dalam hati. Film makin nangis, tahan kejer dengan tutup wajahnya pake bantal sebelum melanjutkan bacaan pada mawar ke 50.
"Tiba-tiba banget ini, gue kangen lo."
"Sama.." Cuma, rasanya nggak bisa. Baca surat dari Namtan adalah tradisi memanggil bayangnya, suara Namtan seiring kuat terdengar setiap Film baca kata-perkata, ini mengerikan. Film segera lepas mawar, beralih ambil ponsel di nakas, jemari lentiknya berselancar di atas layar, mencari kontak si semester tua. Menelepon Namtan. Meski suara panggilan yang nggak terjawab akan memenuhi riwayat telepon malam ini. Malam kesekian.