Mereka berjalan menelusuri hutan belukar di gelap malam, bermodal senter kecil, 40 orang, tambah Piploy juga Pansa tembus, sampai di bangunan tua.
Pansa nggak bohong, dia menelan saliva dan mulai merasakan bahwa jantungnya berdebar kencang. "Lo jamin dia nggak kenal gue?" Pertanyaan ini jelas terlintas di kepala Pansa, semisal manusia gila penculik Namtan kenal dia, Namtan akan lebih dalam bahaya.
"Harusnya nggak. Kalian keluarga nggak dekat, jadi jarang sekali ada publikasi yang bikin dia tau lo Adeknya."
Piploy cuma balas ringan, tapi jujur Pansa tersinggung, tapi tetap menyetujui, mereka bahkan akan menghadiri sesi foto hanya di acara-acara formal tertentu, jarang banget kalo dipikir-pikir berswa foto bareng. Entah, memang mungkin pada gengsian.
"Lo ambil barisan belakang, jangan terlalu dekat." kata Piploy. Orang itu lebih dulu masuk ke rumah kayu jadul, sendirian, sebenarnya Pansa bisa melihat dari sini karena pintu utama nggak di tutup. Ada lumayan banyak orang di dalam sana. Pansa memegang dada, jantungnya berdebar semakin kencang. Dia bingung, nggak mungkin Pansa takut, atau mungkin Pansa takut dengan fakta akan keadaan Namtan. Entah mengecewakan hatinya, menakutinya, atau bahkan menghancurkannya.
Pansa mendadak nggak siap menerima fakta kalo Namtan ada di dalam sana, apalagi Piploy datang keluar lagi, memerintah untuk masuk sembari mengangguk pada Pansa, mengode tipis yang Pansa tau artinya.
Namtan Tipnaree ada di dalam?
"Kalian beramai-ramai ini, ada rencana menyerang desa Ranotalesab?"
Pansa hilang kendali pada jantungnya. Debarannya kencang, apalagi melihat satu sosok yang berbicara, tangan kanannya, di bogem itu banyak bekas darah seperti habis memukuli seseorang dengan membabi buta. Kaki Pansa bergetar, nyaris tumbang, dia nggak kuat untuk berpikir lebih jauh tentang apa yang diperbuat orang-orang ini pada Kakaknya.
"Kita datang untuk pergerakkan lanjutan Megapolitan. Gue ke sini berniat meminta anggota tambahan di aksi nanti." Piploy dehem, dia juga gugup ternyata. "Tangan lo, kenapa?" Piploy dan pertanyaannya nggak akan bikin manusia yang bogemnya dipenuhi bercak curiga. Memang harus ditanya, tangan orang itu terlihat mengerikan.
"Oh, ini?"
Suara tengil itu, Pansa bersumpah ingin menghantam kepalanya. Entah siapa dia, kenapa bisa mendendam separah ini pada Namtan Tipnaree. Suaranya mengalahkan tengil suara Pansa Vosbein saat sedang sarkas. Dia bahkan masih bisa tersenyum santai, ada lesung pipinya yang khas menambah bara dalam dada untuk menyala-nyala. Pansa kali ini nggak akan berpikir dua kali, seseorang harus merasakan apa yang Namtan rasakan.
"Gue punya sandera yang sedang menderita."
Namtan Tipnaree. Mungkin. Pansa menarik napas. Menahan keinginan gila pada bogem dan emosi dalam dada hingga kepala. Jangan dulu, katanya, mewanti serius karena biar bagaimanapun, Namtan belum terlihat di pandangan matanya. Apalagi ada 4 orang berbadan nggak kecil di samping si tengil psiko itu.
"Siapa?" Piploy maju, berjalan pelan, "Lo jangan cari masalah, kita sedang fokus gerakan."
"Dengan nggak adanya dia, malah nggak akan mengganggu fokus gerakan Megapolitan. Bukannya lo bilang dia yang jadi penghalang sukses gerakan kita?" Dia meneleng kepala, kode terarah pada salah satu orang berbadan besar seperti raksasa. Layaknya ngerti, si kekar itu berjalan, berjalan ke arah salah satu ruangan, bagi Pansa itu terlihat seperti kamar. Di sana gelap. Tapi ketika terdengar suara rintih kesakitan, Pansa meremas dadanya.