Jihoon terbangun dengan napas tersengal-sengal. Kegelapan menyelimuti sekelilingnya, hanya diselingi oleh bunyi tetesan air yang bergema di ruang kecil itu. Jihoon segera menyadari bahwa ia sendirian di dalam sel yang gelap dan dingin. Ketakutan langsung menyergapnya.
"Kak Youngjae? Kak Dohoon? Kak Shinyu?" Jihoon memanggil dengan suara gemetar, berharap mendengar jawaban dari salah satu saudaranya. Namun, yang terdengar hanya keheningan. Hatinya semakin ciut, dan ia merasa panik menguasai dirinya.
Jihoon meraba-raba dinding sel, mencoba mencari pintu atau jendela, tetapi hanya menemukan dinginnya dinding beton. Tangannya gemetar saat ia terus meraba-raba, berharap menemukan cara untuk keluar.
"Tolong! Ada orang di sana?!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan.
"Tidak... Tidak... Aku tidak bisa sendirian di sini," isak Jihoon, suaranya nyaris tak terdengar. Tubuhnya gemetar hebat, dan ia merasa seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya. Ia duduk di lantai sel yang dingin, memeluk lututnya erat-erat, berusaha menenangkan dirinya.
Di tengah keputusasaan itu, Jihoon mendengar suara langkah kaki mendekat. Jantungnya berdebar kencang, berharap itu adalah salah satu saudaranya atau seseorang yang bisa menolongnya. Cahaya redup mulai masuk melalui celah di pintu sel, dan bayangan seorang pria muncul di depannya.
Pintu sel terbuka, dan seorang petugas masuk, menatap Jihoon dengan ekspresi datar. "Bangun. Waktunya untuk tes berikutnya," kata petugas itu.
Jihoon merasakan amarah dan ketakutan berkecamuk dalam dirinya. "Di mana saudara-saudaraku? Apa yang kalian lakukan pada mereka?" tanyanya dengan suara bergetar.
Petugas itu tidak menjawab, hanya meraih lengan Jihoon dengan kasar dan menariknya keluar dari sel. Jihoon berusaha melawan, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk memberikan perlawanan yang berarti.
"Tolong, aku mohon! Beritahu aku di mana mereka!" teriak Jihoon, tetapi petugas itu tetap diam.
Di sepanjang koridor yang dingin dan gelap, Jihoon terus meronta dan memohon, tetapi tak ada jawaban yang diberikan. Jihoon merasakan ketakutan yang semakin dalam, tidak hanya karena apa yang akan terjadi padanya, tetapi juga karena ketidakpastian nasib saudara-saudaranya.
Ketika mereka tiba di ruang tes, tubuh Jihoon dipaksa untuk duduk dan diikat untuk membatasi pergerakannya. Jihoon melihat Professor Marcellus yang menunggu di sana. "Ah, Jihoon. Bagus sekali kau sudah bangun," katanya dengan senyum yang lebar, seolah sedang mengantisipasi hal menarik apalagi yang akan ia lihat hari ini.
Jihoon menatap tajam ke arah Professor Marcellus, mencoba menahan ketakutan yang berkecamuk di dalam dirinya.
"Apa yang kalian lakukan pada saudara-saudaraku?" tanyanya dengan penekanan.
Professor Marcellus hanya tersenyum meremehkan. "Jangan khawatir, mereka juga sedang menjalani tes. Khusus dirimu, Dohoon dan Hanjin perlu kami teliti lebih ekstra. Untuk saudaramu yang lain, petugas akan merangsang potensi mereka untuk keluar lebih banyak."
Jihoon merasa marah dan takut sekaligus. "Kalian tidak punya hak untuk melakukan ini pada kami! Kami hanya anak-anak panti asuhan, bukan objek eksperimen kalian!"
"Kalian adalah masa depan. Potensi yang kalian miliki bisa mengubah dunia. Sayangnya, dalam proses ini, sedikit pengorbanan adalah hal yang wajar." Marcellus mendekat, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Jihoon yang sedang terikat di kursi.
"Kamu tahu, Jihoon? Impianku adalah bisa membuat perubahan untuk umat manusia, aku lahir dengan kemampuan yang biasa-biasa saja tapi aku mengasah kecerdasanku. Dan dirimu! Kamu terlahir dengan kemampuan luar biasa, bagaimana bisa aku mengabaikan kemanpuanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall +TWS
FanfictionMereka berjuang untuk bertahan hidup, mengandalkan kenangan dan janji satu sama lain untuk terus berjuang demi kebebasan. Keberanian, harapan, dan cinta di tengah penderitaan, yang menjadi sumber kekuatan mereka dalam menghadapi kegelapan. TWS sci-f...