2. Lost Control

5.5K 46 0
                                    

Tujuh tahun, mendiang istri Bara meninggal tujuh tahun yang lalu saat akan melahirkan anak mereka. Naas takdir Tuhan berkata lain, bukan hanya anak mereka yang tidak selamat tapi juga kekasih hati Bara.

Dulu, mereka cukup kesulitan mendapatkan buah hati, kedua orangtua mereka pun terus merongrong tak sabaran hingga menganjurkan mereka mengangkat anak dari panti asuhan untuk pancingan. Awalnya tentu Bara menolak, tapi mendiang istrinya cukup percaya dengan hal itu, hadir lah Lana di rumah mereka.

Istri Bara -Laura-, sangat menyayangi Lana, walau Bara juga merasakan perasaan yang sama, namun, rasa sayang Laura kepada Lana tidak bisa diungkapkan dengan kata.

Entah memang benar atau ketidak sengajaan, empat tahun kemudian Laura benar-benar hamil. Tentu mereka semua senang, apalagi Lana, ia sangat ingin memiliki adik.

Namun, siapa yang tahu tanggal kematian? Laura pendarahan, tidak terselamatkan dan air mata kesedihan menjadi makanan Bara dari Lana. Boro-boro melirik wanita lain, fokus Bara hanya menenangkan Lana yang selalu memanggil-manggil Laura setiap mengigau. Kedekatan Bara dengan Lana memang tak sebanding dengan kedetakan Laura dengan anak itu.

Mereka menghabiskan hari bersama, beberes rumah, masak-masak, belajar, Laura menjadi mama yang baik untuk Lana.

Hela napas mengingat momen singkat itu, Bara memijat pelipis akan kenyataan tadi pagi, bahwa ia kehilangan kendali diri. Kejantanannya yang sudah usang selama tujuh tahun tiba-tiba menyala tak pakai peringatan, karena Lana pula, anak yang ia dan Laura besarkan. Gila.

Tok, tok.

Pintu ruangan Bara diketuk, tapi tanpa menunggu sahutannya yang mengizinkan masuk, pintu langsung dibuka.

"Papa!" Lana pelakunya, gadis cantik itu masih mengenakan seragam abu-abu, melangkah riang memasuki ruangan Bara, ia mengikis jarak di antara mereka.

Cup.

Lana kecup kilat pipi Bara yang menoleh menatapnya dengan dahi mengerut. "Ngapain ke sini, Kak?"

"Jemput Papa! Pokoknya harus makan malem sama Kakak." Bibir Lana mengerucut, ia membawa diri menyelinap ke depan kursi kerja Bara, jadi tubuhnya berada di tengah-tengah meja kerja dan kursi kerja si papa.

"Kan Papa udah bilang Papa ada rapat jam lima ini." Bara lirik jarum jam di pergelangan tangannya, masih pukul tiga sore, ada dua jam lagi sebelum rapat event.

"Yaudah Kakak tungguin di sini," jawab Lana ringan, ia menoleh ke kanan, menatap isi meja kerja Bara yang hanya berupa map-map entah apa, pasti berisi dokumen penting sih. "Kalau sendirian di rumah Kakak selalu inget mama," gumamnya menyentuh ujung map. "Kangen banget sama mama," berbisik entah untuk siapa, Lana menunduk dan hela napas. Sekian detik kemudian ia menoleh menatap Bara yang ternyata juga sedang menatapnya, sedari tadi menatapnya.

Papa dan anak itu saling bersitatap. "Papa kangen nggak sama mama?"

Hening, Bara diam tidak langsung menjawab. Menurutnya pertanyaan Lana benar-benar terdengar konyol, tapi bukan berarti ia bisa terbahak karena itu, yang ada Bara hela napas untuk kesekian kali di hari ini.

Bara majukan kursinya, membiarkan Lana berdiri di antara kedua kaki. Dan hanya dari tatapan saja Lana tahu Bara lebih dari merindukan, ia pun merentangkan kedua tangan, menarik kepala sang papa masuk ke dalam dekapan hangat agar mereka sama-sama kuat dengan kenyataan bahwa mereka hanya tinggal berdua saja.

Dalam dekap Lana, Bara memejamkan mata, ia balas pelukan si anak dengan melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Wajah ia sembunyikan di dada Lana. Empuk, harum, menenangkan.

Lana sendiri mengusap lembut kepala belakang si papa, berniat menenangkan juga menyemangati. "Pokoknya Kakak bakal tetep di samping Papa sampai kapanpun," gumam Lana.

LOST - 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang